-->

Manajemen Berbasis Sekolah (Mbs)

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Pengertian MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) sanggup diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memperlihatkan fleksibilitas/ keluwesan keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara pribadi warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).

Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam aktivitas dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, contohnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Makara otonomi sekolah ialah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan menentukan cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.


===================================




===================================

Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam membuatkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.

Peningkatan partisipasi yang dimaksud ialah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang renta siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat secara pribadi dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan penilaian pendidikan yang diharapkan sanggup meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa kalau seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. 
Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan bisa membuat keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud ialah keterbukaan dalam aktivitas dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud ialah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh kekerabatan antar warga sekolah yang erat, kekerabatan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis. Akuntabilitas sekolah ialah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan ialah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi insan serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan yang disebut dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite Sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 perihal Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya,  Komite Sekolah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan menjadi kawan sekolah yang sanggup mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan aktivitas pendidikan di sekolah. Tugas dan fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

Selain itu, Komite Sekolah juga sanggup memperlihatkan masukan dan pertimbangan kepada sekolah perihal kebijakan dan aktivitas pendidikan, planning anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Pendeknya, Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi pertimbangan, perantara dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu isyarat dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.

Dengan pengertian di atas, maka sekolah mempunyai kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan target peningkatan mutu, menyusun planning peningkatan mutu, melaksanakan planning peningkatan mutu, dan melaksanakan penilaian pelaksanaan peningkatan mutu), mempunyai fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan mempunyai partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.

Sekolah yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: sifat ketergantungan rendah; kreatif dan inisiatf, adaptif dan antisipatif/proaktif terhadap perubahan; mempunyai jiwa kewirausahaan tinggi (inovatif, gigih, ulet, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; mempunyai kontrol yang besar lengan berkuasa terhadap input administrasi dan sumberdayanya; mempunyai kontrol yang besar lengan berkuasa terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan pola bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya insan sekolah yang berdaya, pada umumnya, mempunyai ciri-ciri: pekerjaan ialah miliknya, ia bertanggungjawab, pekerjaannya mempunyai kontribusi, ia tahu posisinya di mana, ia mempunyai kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan cuilan hidupnya.

Contoh perihal hal-hal yang sanggup memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa ia ialah cuilan penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai insan ciptaan-Nya yang mempunyai martabat tertinggi.

Tujuan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud mencakup peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan penemuan pendidikan.

Dengan MBS, sekolah diharapkan makin bisa dan berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)
.

Karakteristik MBS
Manajemen Berbasis Sekolah mempunyai karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, kalau sekolah ingin sukses dalam menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MBS tidak sanggup dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh sebab itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.

Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.

a.   Output yang Diharapkan
Sekolah mempunyai output yang diharapkan. Output sekolah ialah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan administrasi di sekolah. Pada umumnya, output sanggup diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NUN/NUS, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, contohnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, akhlak/budipekerti, sikap sosial yang baik ibarat contohnya bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.

b.   Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya mempunyai sejumlah karakteristik proses sebagai berikut:
1)  Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
2)  Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
3)  Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
4)  Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
5)  Sekolah Memiliki Budaya Mutu
6)  Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
7)  Sekolah Memiliki Kewenangan
8)  Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
9)  Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
10)   Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
11)   Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
12)   Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
13)   Memiliki Komunikasi yang Baik
14)   Sekolah Memiliki Akuntabilitas
15)   Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
16)   Sekolah mempunyai Kemampuan Menjaga Sustainabilitas

c.   Input Pendidikan
1)  Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
2)  Sumberdaya Tersedia dan Siap
3)  Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
4)  Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
5)  Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
6)  Input Manajemen

Urusan-urusan yang Menjadi Kewenangan dan Tanggungjawab Sekolah
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 perihal Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus dipakai sebagai pola dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut ialah urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu: (a) proses berguru mengajar, (b) perencanaan dan penilaian aktivitas sekolah, (c) pengelolaan kurikulum, (d)  pengelolaan ketenagaan, (e) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (f) pengelolaan keuangan, (g) pelayanan siswa, (h) kekerabatan sekolah-masyarakat, dan (i) pengelolaan kultur sekolah.

Pelaksanaan MBS
Esensi MBS ialah peningkatan  otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi memakai pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh sebab itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan anggun akhirnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan sekolah. Paling tidak, proses menuju MBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:

Pertama, perlu penyempurnaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang ada di kawasan dikala ini yang masih mendudukkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi dinas pendidikan dan kedudukan sekolah bersifat marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit utama.

Kedua, kebiasaan (routines) berperilaku warga (unsur-unsur) sekolah perlu diubahsuaikan sebab MBS menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku gres yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif/kooperatif, integratif, sinkron, luwes, dan professional.

Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh birokrat diatasnya) perlu diubahsuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan kiprah ini merupakan konsekuensi dari perubahan peraturan perundang-undangan bidang pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,dan peraturan menteri.

Keempat, hubungan antar warga (unsur-unsur) dalam sekolah, antara sekolah dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi perlu diperbaiki atas dasar jiwa otonomi. Karena itu struktur organisasi pendidikan yang ada dikala ini perlu ditata kembali dan kemudian dianalisis kekerabatan antar unsur/pihak untuk menentukan sifat kekerabatan (direktif, koordinatif atau fasilitatif).

Tahap-tahap Pelaksanaan MBS
1.  Melakukan Sosialisasi MBS
Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/pembudayaan MBS sanggup dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.   Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumberdaya gres yang diharapkan sanggup mendukung penyelenggaraan MBS;
b.   Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya gres yang diharapkan untuk menyelenggarakan MBS;
c.   Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggungjawab, kalau terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar;
d.   Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS;
e.    Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diharapkan perubahan dari administrasi berbasis pusat menjadi MBS;
f.    Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diharapkan untuk mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya insan yang mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan MBS; dan
g.   Pantaulah dan arahkan proses perubahan biar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MBS yang telah disepakati.

2.     Memperbanyak Mitra Sekolah

3.  Merumuskan Kembali Aturan Sekolah, Peran Unsur-unsur Sekolah,   Kebiasaan dan Hubungan antar Unsur-unsur Sekolah  

4.  Menerapkan Prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik

5.  Mengklarifikasi Fungsi dan Aspek Manajemen Sekolah

6.  Meningkatkan Kapasitas Sekolah

7.  Meredistribusi Kewenangan dan Tanggung jawab

8.  Menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS/RKAS), Melaksanakan, dan Memonitor serta Mengevaluasinya

Konsep Partisipasi
Salah satu alasan penerapan MBS ialah untuk membuat kebijakan/keputusan sekolah lebih akrab dengan stakeholders sehingga akhirnya benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders. Untuk itu, MBS mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah (stakeholders),  baik warga sekolah ibarat guru, kepala sekolah, siswa, dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya, maupun warga di luar sekolah ibarat orang renta siswa, akademisi, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak lain yang mewakili masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah. Saat ini, Komite Sekolah merupakan wadah formal bagi stakeholders untuk berpartisipasi secara pribadi maupun tidak pribadi dalam penyelenggaraan sekolah.

Peningkatan partisipasi dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasi/kontribusinya terhadap sekolah. Inilah pentingnya partisipasi bagi sekolah.

Arti Partisipasi
Partisipasi ialah proses di mana stakeholders (warga sekolah dan masyarakat) terlibat aktif baik secara individual maupun kolektif, secara pribadi maupun tidak langsung, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/ pengevaluasian pendidikan sekolah. Diharapkan, partisipasi sanggup mendorong warga sekolah dan masyarakat sekitar untuk memakai haknya dalam memberikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengevaluasian yang menyangkut kepentingan sekolah, baik secara individual maupun kolektif, secara pribadi maupun tidak langsung.

Pergeseran lokus kebijakan dari pemerintah pusat dan dari dinas  pendidikan ke sekolah diharapkan proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan lebih partisipatif dan benar-benar mengabdi kepada kepentingan publik dan bukan pada kepentingan elite birokrasi dan politik. Dengan partisipasi aktif diharapkan bisa mengakibatkan aspirasi stakeholders sebagai panglima sebab dengan MBS diharapkan bisa mengalirkan kekuasaan dari pemerintah pusat dan dinas pendidikan ke tangan para pengelola sekolah, yang bekerjsama sangat strategis sebab pada level inilah keputusan sanggup memperbaiki mutu pendidikan.

Tujuan Partisipasi
Tujuan utama peningkatan partisipasi ialah untuk: (1) meningkatkan dedikasi/ kontribusi stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik dalam bentuk jasa (pemikiran/intelektualitas, keterampilan), moral, finansial, dan material/barang; (2) memberdayakan kemampuan yang ada pada stakeholders bagi pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (3) meningkatkan peran stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik sebagai advisor, supporter, mediator, controller, resource linker, and education provider, dan (4) menjamin biar setiap keputusan dan kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders dan mengakibatkan aspirasi stakeholders sebagai panglima bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah.  

Upaya-Upaya Peningkatan Partisipasi
Untuk mencapai tujuan tersebut, upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam rangka meningkatkan partisipasi stakeholders adalah sebagai berikut.

(1) Membuat peraturan dan pedoman sekolah yang dapat menjamin hak   stakeholders untuk memberikan pendapat dalam segala proses  pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengevaluasian pendidikan di sekolah.

(2) Menyediakan sarana partisipasi atau saluran komunikasi agar stakeholders dapat mengutarakan pendapatnya atau sanggup mengekspresikan impian dan aspirasinya melalui pertemuan umum, temu wicara, konsultasi, penyampaian pendapat secara tertulis, partisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di sekolah.

(3) Melakukan advokasi, publikasi, komunikasi, dan transparansi kepada stakeholders.

(4) Melibatkan stakeholders secara proporsional dengan mempertimbangkan relevansi pelibatannya, batas-batas yurisdiksinya, kompetensinya, dan kompatibilitas tujuan yang akan dicapainya.

Indikator Keberhasilan Partisipasi
Keberhasilan peningkatan partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sanggup diukur dengan beberapa indikator berikut:
(1) Kontribusi/dedikasi stakeholders meningkat dalam hal jasa (pemikiran, keterampilan), finansial, moral, dan material/barang.
(2) Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada sekolah, terutama menyangkut kewibawaan dan kebersihan.
(3) Meningkatnya tanggungjawab stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
(4) Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukan (kritik dan saran) untuk peningkatan mutu pendidikan.
(5) Meningkatnya kepedulian stakeholders  terhadap setiap langkah yang dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan mutu.
(6) Keputusan-keputusan yang dibentuk oleh sekolah benar-benar mengekspresikan aspirasi dan pendapat stakeholders dan bisa meningkatkan kualitas pendidikan.

Konsep Transparansi
Sekolah ialah organisasi pelayanan yang diberi mandat oleh publik untuk menyelenggarakan pendidikan sebaik-baiknya. Mengingat sekolah ialah organisasi pelayanan publik, maka sekolah harus transparan kepada publik mengenai proses dan hasil pendidikan yang dicapai. Transparansi dicapai melalui kemudahan dan kebebasan publik untuk memperoleh informasi dari sekolah. Bagi publik, transparansi bukan lagi merupakan kebutuhan tetapi hak yang harus diberikan oleh sekolah sebagai organisasi pelayanan pendidikan.

Hak publik atas informasi yang harus diberikan oleh sekolah antara lain: hak untuk mengetahui, hak untuk menghadiri pertemuan sekolah, hak untuk mendapat salinan informasi, hak untuk diinformasikan tanpa harus ada permintaan, dan hak untuk menyebarluaskan informasi. Oleh sebab itu, sekolah harus memperlihatkan jaminan kepada publik terhadap kanal informasi sekolah atau kebebasan memperoleh informasi sekolah. Kebebasan memperoleh informasi sekolah sanggup dicapai kalau dokumentasi informasi sekolah tersedia secara mutakhir, baik kualitas maupun kuantitas

Pengembangan transparansi sangat diharapkan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik kepada sekolah. Dengan transparansi yang tinggi, publik tidak lagi curiga terhadap sekolah dan karenanya keyakinan dan kepercayaan publik terhadap sekolah juga tinggi. .

Arti Transparansi
Transparansi sekolah ialah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan sanggup mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Dalam konteks pendidikan, istilah transparansi sangatlah terang yaitu kepolosan, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik perihal apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ini berarti bahwa sekolah harus memperlihatkan informasi yang benar kepada publik. Transparansi menjamin bahwa data sekolah yang dilaporkan mencerminkan realitas. Jika terdapat perubahan pada status data dalam laporan suatu sekolah, transparansi penuh menyaratkan bahwa perubahan itu harus diungkapkan secara bekerjsama dan dengan segera kepada semua pihak yang terkait (stakeholders).

Tujuan Transparansi
Pengembangan transparansi ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan publik kepada sekolah bahwa sekolah ialah organisasi pelayanan pendidikan yang higienis dan berwibawa. Bersih dalam arti tidak KKN dan berwibawa dalam arti profesional. Transparansi bertujuan untuk membuat kepercayaan timbal balik antara sekolah dan publik melalui penyediaan informasi yang memadai dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.

Upaya-Upaya Peningkatan Transparansi
Transparansi sekolah perlu ditingkatkan biar publik memahami situasi sekolah dan dengan demikian mempermudah publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam kerangka meningkatkan transparansi sekolah kepada publik antara lain melalui pendayagunaan aneka macam jalur komunikasi, baik secara pribadi melalui temu wicara, maupun secara tidak pribadi melalui jalur media tertulis (brosur, leaflet, newsletter, pengumuman melalui surat kabar) maupun media elektronik (radio dan televisi lokal).

Upaya lain yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam meningkatkan transparansi ialah menyiapkan kebijakan yang terang perihal cara mendapat informasi, bentuk informasi yang sanggup diakses oleh publik ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapat informasi, durasi waktu untuk mendapat informasi, dan mekanisme pengaduan apabila informasi tidak hingga kepada publik.

Sekolah perlu mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk mendapat informasi sekolah, akomodasi database, sarana informasi dan komunikasi, dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada di sekolah maupun mekanisme pengaduan.

Indikator Keberhasilan Transparansi
Keberhasilan transparansi sekolah ditunjukkan oleh beberapa indikator berikut: (a) meningkatnya keyakinan dan kepercayaan publik kepada sekolah bahwa sekolah ialah higienis dan wibawa, (2) meningkatnya partisipasi publik terhadap penyelenggaraan sekolah, (3) bertambahnya wawasan dan pengetahuan publik terhadap penyelenggaraan sekolah, dan (4) berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di sekolah. 

Konsep Akuntabilitas
MBS memberi kewenangan yang lebih besar kepada penyelenggara sekolah yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak absolut dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu, sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik perihal apa yang dikerjakan sebagai konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh publik/ masyarakat. Ini berarti, akuntabilitas publik akan menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Publik sebagai pemberi mandat sanggup memberi penilaian terhadap penyelenggara sekolah apakah pelaksanaan mandat dilakukan secara memuaskan atau tidak. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas, publik mempunyai hak untuk memperlihatkan masukan, hak diinformasikan, hak untuk komplain, dan hak untuk menilai kinerja sekolah.

Arti Akuntabilitas
Akuntabilitas ialah kewajiban untuk memperlihatkan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan mengambarkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang mempunyai hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggjawaban. Pertanggung tanggapan penyelenggara sekolah merupakan akumulasi dari keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi sekolah yang perlu disampaikan kepada publik/stakeholders. Akuntabilitas kinerja sekolah ialah perwujudan kewajiban sekolah untuk mempertanggungjawabkankeberhasilan/kegagalan pelaksanaan planning sekolah dalam mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.

Akuntabilitas    meliputi     pertanggungjawaban penyelenggara sekolah yang diwujudkan melalui transparansi dengan cara menyebarluaskan informasi dalam hal: (a) pembuatan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, (b) anggaran pendapatan dan belanja sekolah, (c) pengelolaan sumberdaya pendidikan di sekolah, dan (d) keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan planning sekolah dalam mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan.
Menurut jenisnya, akuntabilitas sanggup dikategorikan menjadi 4: (1) akuntabilitas kebijakan, yaitu akuntabilitas pilihan atas kebijakan yang akan dilaksanakan, (2) akuntabilitas kinerja (product/quality accountability), yaitu akuntabilitas yang bekerjasama dengan pencapaian tujuan sekolah, (3) akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang bekerjasama dengan proses, prosedur, hukum main, ketentuan, pedoman, dan sebagainya., dan (4) akuntabilitas keuangan (kejujuran) atau sering disebut (financial accountability), yaitu akuntabilitas yang bekerjasama dengan pendapatan dan pengeluaran uang (cash in and cash out). Sering kali istilah cost accountability juga dipakai untuk kategori akuntabilitas ini.

Tujuan Akuntabilitas
Tujuan utama akuntabilitas ialah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas ialah untuk menilai kinerja sekolah dan kepuasan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan, dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.

Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil penilaian harus dipublikasikan dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. Sekolah dikatakan mempunyai akuntabilitas tinggi kalau proses dan hasil kinerja sekolah dianggap benar dan sesuai dengan planning yang telah ditetapkan sebelumnya.

Upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas
Agar sekolah mempunyai akuntabilitas yang tinggi, maka perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut.
a)  Sekolah harus menyusun hukum main perihal sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban. Ini perlu diupayakan untuk menjaga kepastian perihal pentingnya akuntabilitas.
b)  Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laris dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan hukuman yang terang dan tegas.
c)  Sekolah menyusun planning pengembangan sekolah dan memberikan kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
d)  Menyusun indikator yang terang perihal pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
e)  Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan memberikan akhirnya kepada publik/stakeholders di selesai tahun.
f)   Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan atau pengaduan publik.
g)  Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
h)  Memperbarui planning kinerja yang gres sebagai kesepakatan komitmen baru.
e.   Indikator Keberhasilan Akuntabilitas

Keberhasilan akuntabilitas sanggup diukur dengan beberapa indikator berikut, yaitu: (a) meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah, (b) tumbuhnya kesadaran publik perihal hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, (c) berkurangnya kasus-kasus KKN di sekolah, dan (d) meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.



================================================





Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel