Laporan Ptk: Bantuan Penerapan Model Pembelajaran “Card Sort” Berbasis Pendekatan Ctl Terhadap Peningkatan Hasil Mencar Ilmu Siswa Dalam Mata Pelajaran Pkn Pada Siswa Kelas Vii-C Smpn 1 Cadasari
12:51 AM
Edit
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
A. Latar Belakang
Motivasi dan hasil berguru siswa dalam mata pelajaran PKn pada siswa kelas VIIC masih rendah, hal ini terlihat dari data rata-rata nilai raport dan prosentase kelulusan ujian blok pada semester 1. Kenyataan di atas menuntut guru harus sanggup menggali banyak sekali upaya guna peningkatan hasil berguru siswa. Dengan demikian peranan guru sangat penting dalam meningkatkan hasil siswa. Untuk meningkatkan hasil berguru siswa dalam pelajaran PKn perlu adanya strategi, pendekatan dan sarana pembelajaran yang diminat siswa. Strategi, pendekatan dan sarana pembelajaran ini majemuk model dan bentuknya, mulai dari yang sederhana hingga yang sukar/rumit untuk dilaksanakan.
Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah pendekatan pembelajaran yang diyakini sanggup meningkatan motivasi dan hasil berguru siswa. Pendekatan ini berasumsi bahwa dalam kegiatan pembelajaran guru harus mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia faktual siswa dan mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam ke¬hidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. De¬ngan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. (Depdiknas, 2003:1)
<
Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah pendekatan pembelajaran yang diyakini sanggup meningkatan motivasi dan hasil berguru siswa. Pendekatan ini berasumsi bahwa dalam kegiatan pembelajaran guru harus mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia faktual siswa dan mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam ke¬hidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. De¬ngan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. (Depdiknas, 2003:1)
Melalui penerapan pendekatan CTL dalam pembelajaran, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa man¬faatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Siswa diharapkan sadar bahwa yang mereka pelajari mempunyai kegunaan bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pem¬bimbing.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam kegiatan berguru mengajar menuntut kemampuan guru untuk sanggup menentukan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan kontekstual ialah model Card Sort. Model pembelajaran Card Sort merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan oleh Mel Sibermen (2002:149). Model ini dilakukan dengan cara: a) memperlihatkan kartu indeks kepada masing-masing akseptor didik (kartu tersebut sanggup berisi pertanyaan atau jawaban); b) Meminta akseptor didik menentukan kartu sesuai dengan katagori atau pertanyaan; c) Peserta didik yang telah selesai menentukan kartu diberi kesempatan menyajikan sendiri (mempresentasikan) kepada yang lain.
Penerapan model pembelajaran Card Sort dengan pendekatan Contektual Teaching and Learning (CTL) dianggap cocok dengan tingkat perkembangan siswa SMP. Hal ini alasannya model pembelajaran Card Sort selain mengandung unsur pembelajaran juga mengandung unsur permainan yang disukai siswa. Dengan demikian penerapan model pembelajaran Card Sort dalam pembelajaran PKn diharapkan sanggup meningkatkan hasil berguru siswa dalam penguasaan konsep atau materi pembelajaran khususnya, bahkan diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya.
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan dengan mempertimbangkan waktu, tenaga dan biaya yang tersedia, penelitian tindakan kelas ini hanya membatasi pada masalah bantuan penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan CTL pada siswa kelas VIIC dan kontribusinya terhadap peningkatan hasil berguru siswa dalam Pelajaran PKn, khususnya dalam materi asuh atau materi Hak Asasi Manusia.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian tindakan kelas ini ialah “Bagaimana proses penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan CTL pada siswa kelas VIIC dan kontribusinya terhadap peningkatan hasil berguru siswa dalam Pelajaran PKn?”
D. Tujuan
Tujuan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini adalah: (1) untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan Contectual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran PKn; (2) untuk sanggup mengetahui bantuan penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan Contectual Teaching and Learning (CTL) terhadap peningkatan hasil berguru siswa dalam pembelajaran PKn.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah: (1) sebagai materi pertimbangan atau masukan penulis dalam penyusunan taktik pembelajaran PKn selanjutnya; (2) diharapkan sanggup dijadikan masukan bagi instansi pemerintah, cq Dinas Pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan; dan (3) semoga sanggup memperlihatkan sumbang saran yang positif bagi para guru-guru PKn di lapangan.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian CTL
CTL atau Contextual Teaching and Learning merupakan konsep berguru yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia faktual siswa dan mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam ke¬hidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. De¬ngan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa man¬faatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari mempunyai kegunaan bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pem¬bimbing.
Dalam kelas kontekstual, kiprah guru ialah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan taktik daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang gres bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang gres (baca: pengetahuan dan keterampilan) tiba dari `menemukan sendiri', bukan dari `apa kata guru'. Begitulah kiprah guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Kontekstual hanya sebuah taktik pembelajaran. Seperti halnya taktik pembelajaran yang lain, kontektual dikembangkan dengan tujuan biar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual sanggup dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dalam buku ringkas ini dibahas masalah yang berkenaan dengan pendekatan kon¬tekstual dan implikasi penerapannya.
B. Alasan Pentingnya Penggunaan CTL dalam Pembelajaran
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber uta¬ma pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama taktik belajar. Untuk itu, diharapkan sebuah taktik berguru `baru' yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah taktik be¬lajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah taktik yang mendorong siswa mengkonstruk¬sikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL `dipromosi¬kan' menjadi alternatif taktik berguru yang baru. Melalui taktik CTL, siswa diharapkan berguru melalui `mengalami', bukan `menghapal'.
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran wacana berguru sebagai proses mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Di bawah dikemukakan beberapa ciri pembelajaran kontekstual, yakni:
1. Proses Belajar
a) Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus meng¬konstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
b) Anak berguru dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-¬pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
c) Para andal setuju bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam wacana sesuatu masalah (subject matter).
d) Pengetahuan tidak da¬pat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ke¬terampilan yang sanggup di¬terapkan.
e) Manusia rnempunyai ting¬katan yang berbeda dalan menyikapi situasi baru.
f) Siswa perlu dibiasakan meme-cahkan masalah, menemukan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
g) Proses berguru sanggup mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seining dengan perkem¬bangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipamahi, taktik berguru yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada alhasil mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
h) Anak harus tahu makna berguru dan memakai pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masaiah dalam kehidupannya.
2. Transfer Belajar
a) Siswa berguru dari mengalami sendiri, bukan dari `pemberian orang lain'
b) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit-demi sedikit..
c) Penting bagi siswa tahu `untuk apa' la belajar, dan `bagai¬mana' ia memakai pengetahuan dan keterampilan itu.
d) Tugas guru: mengatur taktik belajar, membantu menghubungkan pengetahuan usang dan baru, dan memfasilitasi belajar.
3. Siswa sebagai Pembelajar
a) Manusia mempunyai kecenderungan untuk berguru dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecen¬derungan untuk berguru dengan cepat hal-hal baru
b) Strategi berguru itu penting. Anak dengan gampang mem¬pelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, taktik berguru amat penting.
c) Peran orang remaja (guru) membantu menghubungkan antara `yang baru' dan yang sudah diketahui.
d) Tugas guru memfasilitasi: biar informasi gres bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ilham mereka sendiri, dan menyadar¬kan siswa untuk menerapkan stra¬tegi mereka sen¬diri. Siswa berguru dari menemukan sendiri. Lupakan tradisi: "Guru akting di pangung, siswa menonton". Ubah menjadi, "Siswa aktif bekerja dan berguru di panggung, guru mengarahkan dari dekat."
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
a) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan berguru yang ber¬pusat pada siswa.
Dari "guru akting di depan kelas, siswa menonton" ke "siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan".
b) Pengajaran harus berpusat pada `bagaimana cara' siswa memakai pengetahuan gres mereka. Strategi berguru lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
c) Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.
d) Menumbuhkan komunitas berguru dalam bentuk kerja ke¬lompok itu penting.
C. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Pendekatan CTL mempunyai tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning) masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebetulnya (Authentic Assessment). Sebuah kelas dikatakan memakai pendekatan CTL kalau menerapkan ketujuh kom¬ponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk melaksana¬kan hal itu tidak sulit! CTL sanggup diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya ialah berikut ini.
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan berguru lebih ber¬makna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkostruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru¬nya!
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya!
4. Ciptakan `masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-¬kelompok)!
5. Hadirkan `model' sebagai contoh pembelajaran!
6. Lakukan refleksi di simpulan pertemuan!
7. Lakukan penilaian yang sebetulnya dengan banyak sekali cara!
Berikut penulis uraikan tujuha kompenen pembelajaran CTL atau pemebalajaran kontekstual
1. Konstruktivisme ( Constructlvlsme)
Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh insan sedikit demi sedikit, yang hasilnya didtperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekonyong-konyong.Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta¬fakta, konsep, atau kaidah yang slap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemu¬kan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi dirinya, dan bergelut dengan ide¬ide. Guru tidak akan bisa memperlihatkan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis ialah ilham bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, in¬formasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses `mengkonstruksi' bukan `menerima' pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses berguru dan mengajar. Siswa menjadi sentra kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, `strategi mem¬peroleh' lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, kiprah guru ialah menfasilitasi proses tersebut dengan:
(1) mengakibatkan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
(2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
(3) menyadarkan siswa biar menerapkan taktik mereka sendiri dalam belajar. Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang sema¬kin dalam dan semakin berpengaruh apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.
Menurut Piaget, insan mempunyai struktur pengetahuan dalam otaknya, menyerupai kotak-kotak yang masing-ma¬sing berisi informasi bermakna yang berbeda¬beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing¬masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman gres dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak insan tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak insan melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan gres dibentuk atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.
Lalu, bagaimanakah penerapannya di kelas? Bagaimanakah cara mere alisasikannya pada kelas-kelas di sekoilah kilta. Pada umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, membuat ide, dan sebagainya.Mari kita kembangkan cara-cara tersebut lebih banyak dan lebih banyak lagi!
Siklus inkuiri: Observasi (Observation), Bertanya (Questioning), Mengajukan dugaan (Hiphotesis), Pengumpulan data (Data gathering), Penyimpulan (Conclussion).
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan serpihan inti dari kegiatan pembela¬jaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Topik mengenai adanya dua jenis hewan rnelata, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan `menurut buku'.
Adapun siklus inkuiri ialah sebagai berikut:
1. Observasi (Observation)
2. Bertanya (Questioning)
3. Mengajukan dugaan (Hiphotesis)
4. Pengumpulan data (Data gathering)
5. Penyimpulan (Conclussion)
Apakah hanya pada pelajaran IPA inkuiri itu bias diterapkan? Jawabannya, tentu "Tidak!". Inkuiri sanggup ditev-upkan pada semua bidang studi: bahasa Indonesia (menemukan cara menulis paragraph deskripsi yang indah); IPS (membuat sendiri skema silsilah raja-raja Majapahit); PPKN (menemukan sikap baik dan sikap jelek sebagai warga Negara). Kata kunci dari taktik inkuiri ialah siswa menemukan sendiri.
Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri):
(1) Merumuskah masalah (dalam matapelajaran apapun)
Bagaimanakah silsilah raja-raja Majapahit? (sejarah)
Bagaimanakah cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai Kendari? (bahasa Indonesia)?
Ada berapa jenis tumbuhan berdasarkan bentuk bijinya? (biologi)
Kota mana saja yang termasuk kota besar di Indonesia? (geografi)
(2) Mengamati atau melaksanakan observasi
Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung.
Mengamati clan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati
(3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, clan karya lainnya
Siswa membuat peta kota-kota besar sendiri
Siswa membuat paragraf deskripsi sendiri.
Siswa membuat skema silsilah raja-raja Majapahit sendiri
Siswa membuat penggolongan tumbuh-tumbuhan sendiri.
Siswa membuat essai atau usulan kepada Pemerintah wacana banyak sekali masalah di wilayahnya sendiri. Dst.
(4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, sahabat sekelas, guru, atau audien yang lain
a) Karya siswa disampaikan sahabat sekelas atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan
b) Bertanya jawab dengan teman
c) Memunculkan ide-ide baru
d) Melakukan refleksi
e) Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di dinding kelas, dinding sekolah, majalah dinding, majalah sekolah, dsb.
3. Bertanya ( Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari `bertanya'. Sebelum tahu kota Palu, seseor ng bertanya "Mana arah ke kota Palu?" Questioning (bertanya) merupakaan strategi
Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Pada semua acara belajar, questioning sanggup diterapkan: antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pem¬belajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan serpihan penting dalam melaksana¬kan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya mempunyai kegunaan untuk:
(1) menggali informasi, balk manajemen maupun akademis
(2) mengecek pemahaman siswa
(3) membangkitkan respon kepada siswa
(4) mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa
(5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siwa
(6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
(7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Bagaimanakah penerapannya di kelas? Hampir pada semua acara belajar, questioning sanggup diterapkan: antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dsb. Kegiatan-kegiatan itu akan me-numbuhkan dorongan untuk `bertanya'. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan biar hasil pembe¬lajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak gres berguru meraut pinsil dengan peraut elektronik, ia ber¬tanya kepada temannya "Bagaimana caranya? Tolong bantuin, aku!" Lalu temannya yang sudah biasa, memperlihatkan cara meng¬operasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat-belajar (learning community).
Hasil berguru diperoleh dari `sharing' antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua ialah anggota masyarakat-belajar.
Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pem¬belajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya hiterogen. Yang akil mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelom¬pok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, balk keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melaksanakan kerja sama dengan mendatangkan seorang `ahli' ke kelas. Misalnya tukang sablon, petani jagung, peternak susu, teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang reparasi kunci, dan sebagainya.
"Masyarakat-belajar" bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. "Seorang guru yang menga)ari siswanya" bukan contoh masyarakat¬belajar alasannya komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya tiba dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang tiba dari arah siswa. Dalam contoh ini yang berguru hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pem¬belajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat berguru memberi informasi yang diharapkan oleh sahabat bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diharapkan dari sahabat belajarnya.
Kegiatan saling berguru ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang lebih banyak didominasi dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain mempunyai pengetahuan, penga¬laman, atau ketrampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
Kalau setiap orang mau berguru dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik "learning community" ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam
a) Pembentukan kelompok kecil
b) Pembentukan kelompok besar
c) Mendatangkan `ahli' ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu, dsb.)
d) Bekerja dengan kelas sederajat
e) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
f) Bekerja dengan masyarakat
5. Pemodelan (Modifikasi)
Komponen CTL selanjutnya ialah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan ter¬tentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggeris, dan se¬bagainya. Atau, guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model wacana `bagaimana cara belajar'.
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Sebagian guru memberi contoh wacana cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat dengan memanfaatkan gerak mata (scanning). Ketika guru mendemontrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa mengamati guru membaca dan membolak-balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melaksanakan scanning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran menemukan kata kunci secara cepat. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Dalam masalah itu, guru menjadi model.
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model sanggup dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggeris, siswa itu sanggup ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa `contoh' tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain sanggup memakai model tersebut sebagai `standar' kompetensi yang harus dicapainya.
Model juga sanggup didatangkan dari luar. Seorang penutur orisinil ber-bahasa Inggeris sekali waktu sanggup dihadirkan di kelas untuk men-jadi `model' cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.
Bagaimanakah contoh praktek pemodelan di kelas?
a) Guru olah raga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di hadapan siswa
b) Guru PPKN mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke kelas, kemudian siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh itu
c) Guru geografi memperlihatkan peta jadi yang sanggup digunakan sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya
d) Guru biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer suhu badan
e) Guru bahasa Indonesia memperlihatkan teks informasi dari Harian Kompas, Jawa Pos, dsb. sebagai model pembuatan berita. • Guru kerajinan mendatangkan `model' tukang kayu ke kelas, kemudian memintanya untuk bekerja dengan peralatannya, se¬mentara siswa menirunya.
6.Refleksi ( Reflectlon)
Refleksi juga serpihan penting dalam pembela) aran dengan pendekatan CTL. Refleksi ialah cara berpikir wacana apa yang gres dipelajari atau berpikir ke belakang wacana apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang gres dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang gres diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung "Kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, ya! Mestinya, dengan cara yang gres saya pelajari ini, file komputer saya lebih tertata."
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengeta¬huan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit-demi sedikit. Guru atau orang remaja membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi dirinya wacana apa yang gres dipelajarinya.
Kunci dari itu semua adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana mencicipi ide-ide baru.
Pada simpulan pembelajaran, guru me¬nyisakan waktu sejenak biar siswa me¬lakukan refleksi. Realisasinya berupa
a) pernyataan eksklusif wacana apa-apa yang diperolehnya hari itu
b) catatan atau jurnal di buku siswa
c) Kesan dan saran siswa mengenai pem¬belajaran hari itu
d) dlskusi
e) hasil karya.
Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa biar bisa mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di simpulan periode pembelajaran.
7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment ialah proses pengumpulan banyak sekali data yang bisa menberikan citra perkembangan berguru siswa. Gam¬baran perkembangan berguru siswa perlu diketahui oleh guru biar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru meng¬identifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang sempurna biar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena citra wacana ke¬majuan berguru itu diharapkan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di simpulan periode (cawu/semester) pembelajaran menyerupai pada kegiatan penilaian hasil berguru (seperti UN/UAS), tetapi dilakukan bersama dengan secara ter¬integrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi wacana berguru siswa. Pembela¬jaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa biar bisa mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di simpulan periode pembelajaran.
Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan faktual yang dikerjakan siswa pada dikala melaksanakan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan berguru Bahasa Inggris bagi para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan faktual dikala para siswa memakai bahasa Inggris, bukan pada dikala para siswa mengerjakan tes bahasa Inggris. Data yang diambil dari kegiatan siswa dikala siswa melaksanakan kegiatan berbahasa Inggris balk di dalam kelas maupun di luar kelas itulah yang disebut data autentik.
Kemajuan berguru dinilai dari proses, bukan melulu hasil. Ketika guru mengajarkan sepak bola, siswa yang tendangannya paling bagus, dialah yang memperoleh nilai tinggi. Dalam pembelajaran bahasa gila (Bahasa Inggeris), siapa yang ucapannya cas-cis-cus, dialah yang nilainya tinggi, bukan hasil ulangan wacana grammarnya. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan ke¬trampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga sahabat lain atau orang lain.
Karakteristik authentic assessment:
1. Dilaksanakan selama dan setelah proses pembelajaran ber¬langsung
2. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
3. Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan meng¬ingat fakta
4. Berkesinambungan
5. Terintegrasi
6. Dapat digunakan sebagai feed back
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa
(1) proyek/kegiatan dan laporannya
(2) PR
(3) Kuis
(4) Karya siswa
(5) Presentasi atau penampilan siswa
(6) Demonstrasi
(7) Laporan
(8) Jurna
(9) Hasil tes tulis
(10) Karya tulis
Intinya, dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab ialah "Apakah belum dewasa belajar?", bukan "apa yang sudah diketahui?" Jadi, siswa dinilai kemampuannya dengan banyak sekali cara.
D. Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, acara pembelajaran lebih merupakan planning kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap-demi tahap wacana apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipe¬lajarinya. Dalam acara tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya.
Berbeda dengan acara yang dikembangkan paham objek¬tivis, pementingan acara yang berbasis kontekstual bukan pada rincian dan kejelasan tujuan, tetapi pada citra kegiatan tahap¬demi tahap dan media yang dipakai. Perumusan tujuan yang berkecil-kecil, bukan menjadi prioritas dalam penyusunan planning pembelajaran berbasis CTL, mengingat yang akan dicapai bukan `hasil', tetapi lebih pada `strategi belajar'. Yang diinginkan bukan `banyak, tetapi dangkal', melainkan `sedikit, tetapi mendalam'.
Dalam konteks itu, acara yang dirancang guru benar¬benar `rencana pribadi' wacana apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Gambaran selama ini bahwa RPP ialah laporan untuk kepala sekolah atau pihak lain harus dibuang jauh-jauh. Namun, sebetulnya RPP-lah yang mengingatkan guru wacana benda apa yang harus dipersiapkan, alat apa yang harus dibawa, berapa banyak, ukuran berapa, dan langkah-langkah apa yang akan dikerjakan siswa. RPP-¬lah yang mengingatkan guru ketika akan berangkat ke sekolah, "Oh, saya lupa belum menggunting kertas karton menjadi empat serpihan untuk dibagikan ke belum dewasa nanti!"
Secara umum, tidak ada perbedaan fundamental format antara acara pembelajaran konvensional dengan acara pem¬belajaran kontekstual: Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan acara untuk pembelajaran konteks¬tual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.
E. Model Pembelajaran Card Sort
Model pembelajaran Card Sort merupakan salah satu model pembalajaran yang dikembangkan oleh Mel Siberman (2002) dalam buku Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran. Model ini dilakukan dengan cara: a) memperlihatkan kartu indeks kepada masing-masing akseptor didik (kartu tersebut sanggup berisi pertanyaan atau jawaban); b) Meminta akseptor didik menentukan kartu sesuai dengan katagori atau pertanyaan; c) Peserta didik yang telah selesai menentukan kartu diberi kesempatan menyajikan sendiri (mempresentasikan) kepada yang lain.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam kegiatan berguru mengajar menuntut kemampuan guru untuk sanggup menentukan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan kontekstual ialah model Card Sort. Model pembelajaran Card Sort merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan oleh Mel Sibermen (2002:149). Model ini dilakukan dengan cara: a) memperlihatkan kartu indeks kepada masing-masing akseptor didik (kartu tersebut sanggup berisi pertanyaan atau jawaban); b) Meminta akseptor didik menentukan kartu sesuai dengan katagori atau pertanyaan; c) Peserta didik yang telah selesai menentukan kartu diberi kesempatan menyajikan sendiri (mempresentasikan) kepada yang lain.
Penerapan model pembelajaran Card Sort dengan pendekatan Contektual Teaching and Learning (CTL) dianggap cocok dengan tingkat perkembangan siswa SMP. Hal ini alasannya model pembelajaran Card Sort selain mengandung unsur pembelajaran juga mengandung unsur permainan yang disukai siswa. Dengan demikian penerapan model pembelajaran Card Sort dalam pembelajaran PKn diharapkan sanggup meningkatkan hasil berguru siswa dalam penguasaan konsep atau materi pembelajaran khususnya, bahkan diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya.
F. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas ada dua variabel penting yang akan di teliti dalam Penelitian Tindakan Kelas ini, yakni 1) variabel bebas (X) atau variabel yang mempengaruhi yakni penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan CTL; dan 2) variabel terikat (Y) atau variabel yang dipengaruhi, yakni peningkatan hasil berguru siswa dalam Pelajaran PKn.
Adapaun rumusan pertanyaan penelitian yang dijadikan teladan dalam pembahasan hasil penelitian adalah
1. Bagaimana proses penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan CTL pada siswa kelas VIIC?
2. Bagaimana bantuan penerapan model pembelajaran Card Sort berbasis pendekatan CTL terhadap peningkatan hasil berguru siswa dalam Pelajaran PKn?
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
1) Lokasi Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas
A. Karakteristik lokasi
a) Nama sekolah : SMPN 1 Cadasari
b) Alamat sekolah : Jl. Rego Km.04 Cadasari Pandeglang
c) Kelas : VIIC sebagai kelas model, dan kelas VIIA dab VIIB sebagai kelas pembanding
d) Lingk. fisik sekolah : Pedesaan
B. Karakteristik siswa
a) Latar belakang SOSEK orang bau tanah : menengah ke bawah
b) Kemampuan : sedang
c) Motivasi berguru : rendah
d) Hasil Belajar : rendah
2) Komponen yang terlibat dalam Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas mapel PKn ini ialah sebagai berikut:
a) Guru Mata Pelajaran PKn : Aina Mulyana,S.Pd
b) Mitra Kerja (Observer) : Aat Jumiat,S.Pd (Guru Pengetahuan Sosial)
c) Siswa kelas VIIC yang diberikan pembelajaran dengan model Card Sort berbasis CTL sebagai kelas model
d) Siswa kelas VIIA dan VII B yang diberikan pembelajaran dengan model konvensional berbasis CTL sebagai pembanding.
B. Waktu Kegiatan
Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan selama 5 bulan yakni dari bulan April 2009 hingga dengan Agustus 2009. Adapun jadwal penelitian ini ialah sebagai berikut:
A. Persiapan Penelitian Menggu Ke-1 April 2009
B. Pelaksanaan Penelitian Minggu Ke-2 Bln April s/d Minggu Ke-1 Bulan Juni 2009
1. Penentuan Rencana Tindakan
2. Pelaksanaan Rencana Tindakan
3. Observasi
4. Refleksi
C. Pengolahan Data Minggu Ke-2 Bln April s/d Minggu Ke-1 Bulan Juni 2009
D Penyusunan Laporan
1. Penyusunan Draf Penelitian Minggu Ke-3-4 Bln Juli 2009
2. Penyempurnaan Draf Minggu Ke 1-2 Bln Agustus 2009
3. Finishing Minggu Ke-3 Bln Agustus 2009
C. Subjek Penelitian
Populasi penelitian dalam PTK ini ialah di SMPN1 Cadasari kelas VII C pada tahun pelajaran 2008/2009 semester 2 yakni dengan jumlah populasi sekaligus sampel sebanyak 38 orang..
D. Variabel Penelitian
Penelitian ini berjudul “Kontribusi Penerapan Model Pembelajaran “Card Sort” Berbasis Pendekatan CTL Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran Pkn Pada Siswa Kelas VII SMPN 1 Cadasari (Penelitian Tindakan Kelas dalam Bahan Ajar “Hak Asasi Manusia” di kelas VII C Sekolah Menengah Pertama N 1 Cadasari, Pandeglang)”.
Sesuai dengan judul di atas, maka yang menjadi variabel penelitian ini adalah:
1. Variabel bebas (X) atau variabel yang mempengaruhi dalam peneliian ini ialah adalah “ Pembelajaran “Card Sort” Berbasis Pendekatan CTL”
2. Variabel terikat (Y) atau variabel yang dipengaruhi dalam penelitian ini ialah “Peningkatan Keterampilan Guru Dalam Penerapan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Dan Menyenangkan (PAKEM”.
Hubungan antara kedua variabel tersebut sanggup digambarkan sebagai berikut:
Gb 1. Hubungan antar variabel X dan Y
Gb 1. Hubungan antar variabel X dan Y
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui obeservasi dan catatan data lapangan, wawancara, hasil tes dan catatan hasil refleksi/diskusi yang dilakukan oleh peneliti dan kawan peneliti. Penentuan teknik tersebut didasarkan ketersediaan sarana dan prasana dan kemampuan yang dimiliki peneliti dan kawan peneliti.
Uraian lebih lanjut mengenai teknik-teknik pengumpulan data tersebut ialah sebagai berikut:
a) Observasi dan catatan data lapangan
Observasi dalam kegiatan PTK merupakan kegiatan pengamatan terhadap acara yang dilakukan guru (peneliti) selama melaksanakan kegiatan berguru mengajar di kelas. Kegiatan ini dilakukan oleh pengamat yang dalam hal ini ialah kawan peneliti (Aat Jumiat, S.Ag).
Bentuk kegiatan observasi yang dilakukan dalam PTK ini memakai model observasi terbuka. Adapaun yang dimaksud observasi terbuka ialah apabila pengamat atau observer melaksanakan pengamatannya dengan mencatatkan segala sesuatu yang terjadi di kelas.
Hasil pengamatan dari kawan peneliti selanjutnya dijadikan catatan data lapangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof Dr. Rochiati Wiriaatmaja (2005:125) yang menyatakan: “Sumber informasi yang sangat penting dalam penelitian ini (PTK) ialah catatan lapangan (field notes) yang dibentuk oleh peneliti/mitra peneliti yang melaksanakan pengamatan atau observasi”.
b) Wawancara
Wawancara berdasarkan Denzin dalam Rochiati Wiriaatmaja (2005:117) ialah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara verbal kepada orang-orang yang dianggap sanggup memperlihatkan informasi atau klarifikasi hal-hal yang dipandang perlu.
Dalam PTK ini kegiatan wawancara dilakukan oleh peneliti dan dibantu kawan peneliti kepada beberapa orang siswa (sebagai sampel) yang terlibat dalam kegiatan PTK ini.
c) Hasil tes
Hasil tes yang dimaksud ialah hasil berupa nilai yang diperoleh melalui ujian post tes. Hasil ini sanggup dijadikan materi perbandingan antara hasil post tes terdahulu dengan hasil post tes sebelumnya.
d) Catatan hasil refleksi
Adapaun yang dimaksud catatan hasil refleksi ialah catatan yang yang diperoleh dari hasil refleksi yang dilakukan dengan melalui kegiatan diskusi antara peneliti dan kawan peneliti. Hasil refleksi ini selain dijadikan materi dalam penyusunan planning tindakan selanjutnuya juga sanggup digunakan sebagai sarana untuk mengetahui telah tercapai tidaknya tujuan kegiatan penelitian ini.
F. Teknik Pembahasan
Analisis atau pembahasan data dalam PTK ini dilakukan semenjak awal, artinya analisis data dilakukan tahap demi tahap atau siklus demi siklus. Hal ini sesuai dengan pendapat Miles dan Huberman dalam Rochiati Wiriaatmaja (2005:139) bahwa “…. the ideal model for data collection and analysis is one that interweaves them form the beginning”. Ini berarti model ideal dari pengumpulan data dan analisis ialah yang secara bergantian berlangsung semenjak awal.
Kegiatan analisis data akan dilakukan mengacu pada pendapat Rochiati Wiriaatmaja, (2005:135-151) dengan melaksanakan catatan refleksi, yakni pemikiran yang timbul pada dikala mengamati dan merupakan hasil proses membandingkan, mengkaitkan atau menghubungkan data yang ditampilkan dengan data sebelumnya atau dengan teori-teori yang relevan.
G. Rancangan Tindakan
Dalam PTK ini, rancangan tindakan yang akan dilakukan ialah menerapkan model pembelajaran Card Sort dalam materi Hak Asasi Manusia di kelas VII. Secara rinci tindakan yang akan dilaksanakan ialah sebagai berikut
1) Menyusun RPP dengan mengedepankan model pembelajaran Card Sort;
2) Menerapkan atau mengiplementasi RPP yang telah dibuat
3) Menganalisis hasil presentasi dengan cara mengadakan refleksi (diskusi antara peneliti/kepsek dengan guru yang diamati) wacana kelebihan dan kekurangan kegiatan pembelajaran dengan menggunkan model Card Sort yang telah dilaksanakan dan mencoba membuat formula untuk pelaksanaan siklus berikutnya.
<