Refleksi Pelkasanaan Ujian Nasional (Un) Sma/Smk/Ma Dan Smp/Mts
2:45 PM
Edit
Pelaksanaan Ujian Nasional SMA/SMK/MA dan SMP/MTs tahun pelajaran 2012 telah usai yang ditandai dengan pengumuman kelulusan secara serempak. Untuk tingkat SMA/SMK/MA dan sederajat pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) telah dilaksanakan pada tanggal Mei 2012 sedangkan pengumuman hasil UN SMP/MTS dan sederajat telah dilaksanakan pada tanggal Juni 2012.
Dilihat dari prosentase kelulusan UN, baik pada tingkat SMA/SMK/MA maupun pada tingkat SMP/MTs tahun ini mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan persyaratan penentuan kelulusan pada tahun pelajaran 2012 dipandang jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Persyaratan dimaksud ialah adanya ratifikasi perolehan hasil berguru siswa pada tiap semester (nilai rapot) dan ratifikasi bantuan nilai yang ditetapkan sekolah atau guru menurut hasil ujian sekolah, baik teori maupun praktek. Sekalipun ratifikasi itu belum sanggup dikatakan ideal lantaran kontribusinya gres diakui 40%. Hal ini sesuai dengan rumus penentuan nilai selesai (NA) mata pelajaran yang di UN, yakni 60% nilai UN + 40% nilai sekolah. Mengapa dikatakan belum ideal? Hal ini disebabkan pada KTSP, sekolah diberikan kewenangan yang sangat luas untuk membuatkan materi ajar, keunggulan lokal, potensi siswa dan hal-hal lainnya termasuk penentuan kriteria kelulusan. Logikanya: “Apakah mungkin kita mengembangankan sekolah dengan beragamam keunggulan lokal, bila standarnya dibentuk sama?” “Apakah mungkin sanggup dibentuk standar kelulusan yang sama antara Sekolah Menengah Pertama yang fasilitasnya lengkap dengan tenaga pengajar (guru) yang lengkap dan telah mempunyai pendidikan sesuai bidang keahlinya dengan Sekolah Menengah Pertama Satu atap yang letaknya jauh dipelosok (kadang terseok dan bikin guru stres) dengan akomodasi sekolah yang jauh dari memadai ditambah tenaga guru yang seadanya lantaran masih jauh dari kompetensi yang dipersyaratkan bahkan waktu berguru siswa pun mungkin banyak terbuang lantaran faktor alam dan lainnya?” Ironis bukan!
Mari kita cermati secara kritis! Terkadang hasil UN ada juga yang menggelikan. Pada beberapa fakta mungkin hasil UN sekolah-sekolah yang jauh dari ketercapaian Standar Minimal (SPM) menyerupai Sekolah Menengah Pertama Satu Atap dan sejenisnya lebih tinggi dibandingkan hasil UN pada sekolah yang telah mencapai SPM. Mengapa demikian? Tentu kita tidak boleh berprasangka jelek terhadap mereka, lantaran mereka niscaya berupaya mempersiapkan diri secara all out untuk menghadapi UN dengan latihan soal dan sejenisnya. Bagi mereka aneka macam jenis persiapan dan upaya akan dilakukan, daripada mendapatkan kenyataan siswanya gagal UN lantaran akan berdampak pada keamanan sekolah bahkan terhadap keselamatan diri. Dari citra tersebut kita perlu mempertanyakaan “Apakah itu yang dimaksud peningatan kualitas pendidikan?” Apakah kualitas pendidikan diukur dari kelulusan UN yang mungkin diperoleh dari latihan sesaat?
Kita perlu bersyukur pada pelaksanaan UN 2012, pemerintah telah bertindak bijak dengan menunjukkan bobot terhadap hasil yang diperoleh penerima didik selama tiga tahun belajar. Mudah-mudahan kedepan apabila UN tetap akan dilaksanakan bobot nilai sekolah minimal sama atau sanggup lebih tinggi dibandingkan bobot nilai UN. Minimal kita berharap tahun depan nilai sekolah mempunyai bobot 50% dan nilai UN 50%.
Hal lain yang perlu menerima perhatian dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) ialah dilema pengalokasian anggaran. Dalam pengalokasioan anggaran dari APBN untuk pelaksanaan UN sama sekali tidak teralokasikan anggaran untuk Panitia Pelaksana Ujian Nasional. Bagi Sekolah Menengah Pertama yang biaya operasionalnya berasal dari dana BOS hal ini akan menjadi dilema dan bahkan pada beberapa sekolah menjadi permasalahan yang perlu segera dicarikan solusinya. Mari kita cermati! Seorang pengawas ruang yang bekerja selama 4 hari @120 menit menerima honorarium Rp. 200.000 dipotong pajak dan ditambah transfor dari sekolah. Sedangkan Panitia UN yang bekerja terkadang sebulan sebelum pelaksanaan UN dengan tanggung jawab tidak hanya sebatas menjaga kerahasiaan namun termasuk keamanan menerima honorarium di bawah Rp. 200.000,- dipotong pajak. Mengapa demikian? Karena alokasi BOS untuk pelaksaaan UN itu sendiri terbatas, sedangkan pungutan bahkan pemberian dari orang bau tanah sudah tidak dimungkinkan lagi. Pungutan dihentikan menurut aturan, pemberian menjadi lahan bagi LSM dan sejenisnya. Jika hal ini dibiarkan akan menjadi polemik lantaran untuk di tempat sebagian besar guru akan menentukan menjadi pengawas dan tidak mau menjadi Panitia UN. Dan kesannya mungkin kediktatoran kepala sekolah yang menjadi penentu guru untuk menjadi panitia atau pengawas. Poblematika ini akan berujung pada ketidakharmonisan dalam lingkungan sekolah. Oleh lantaran itu, melalui goresan pena ini kami memberi masukan biar pemerintah pada tahun pelajaran yang akan tiba sanggup menunjukkan alokasi dana tidak hanya untuk pengawas ruang, tetapi juga untuk kepanitiaan di sekolah.
(Terima kasih. Mohon jawaban dan komentar dari rekan-rekan kepala sekolah dan guru di seluruh Indonesia)
Dilihat dari prosentase kelulusan UN, baik pada tingkat SMA/SMK/MA maupun pada tingkat SMP/MTs tahun ini mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan persyaratan penentuan kelulusan pada tahun pelajaran 2012 dipandang jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Persyaratan dimaksud ialah adanya ratifikasi perolehan hasil berguru siswa pada tiap semester (nilai rapot) dan ratifikasi bantuan nilai yang ditetapkan sekolah atau guru menurut hasil ujian sekolah, baik teori maupun praktek. Sekalipun ratifikasi itu belum sanggup dikatakan ideal lantaran kontribusinya gres diakui 40%. Hal ini sesuai dengan rumus penentuan nilai selesai (NA) mata pelajaran yang di UN, yakni 60% nilai UN + 40% nilai sekolah. Mengapa dikatakan belum ideal? Hal ini disebabkan pada KTSP, sekolah diberikan kewenangan yang sangat luas untuk membuatkan materi ajar, keunggulan lokal, potensi siswa dan hal-hal lainnya termasuk penentuan kriteria kelulusan. Logikanya: “Apakah mungkin kita mengembangankan sekolah dengan beragamam keunggulan lokal, bila standarnya dibentuk sama?” “Apakah mungkin sanggup dibentuk standar kelulusan yang sama antara Sekolah Menengah Pertama yang fasilitasnya lengkap dengan tenaga pengajar (guru) yang lengkap dan telah mempunyai pendidikan sesuai bidang keahlinya dengan Sekolah Menengah Pertama Satu atap yang letaknya jauh dipelosok (kadang terseok dan bikin guru stres) dengan akomodasi sekolah yang jauh dari memadai ditambah tenaga guru yang seadanya lantaran masih jauh dari kompetensi yang dipersyaratkan bahkan waktu berguru siswa pun mungkin banyak terbuang lantaran faktor alam dan lainnya?” Ironis bukan!
Mari kita cermati secara kritis! Terkadang hasil UN ada juga yang menggelikan. Pada beberapa fakta mungkin hasil UN sekolah-sekolah yang jauh dari ketercapaian Standar Minimal (SPM) menyerupai Sekolah Menengah Pertama Satu Atap dan sejenisnya lebih tinggi dibandingkan hasil UN pada sekolah yang telah mencapai SPM. Mengapa demikian? Tentu kita tidak boleh berprasangka jelek terhadap mereka, lantaran mereka niscaya berupaya mempersiapkan diri secara all out untuk menghadapi UN dengan latihan soal dan sejenisnya. Bagi mereka aneka macam jenis persiapan dan upaya akan dilakukan, daripada mendapatkan kenyataan siswanya gagal UN lantaran akan berdampak pada keamanan sekolah bahkan terhadap keselamatan diri. Dari citra tersebut kita perlu mempertanyakaan “Apakah itu yang dimaksud peningatan kualitas pendidikan?” Apakah kualitas pendidikan diukur dari kelulusan UN yang mungkin diperoleh dari latihan sesaat?
Kita perlu bersyukur pada pelaksanaan UN 2012, pemerintah telah bertindak bijak dengan menunjukkan bobot terhadap hasil yang diperoleh penerima didik selama tiga tahun belajar. Mudah-mudahan kedepan apabila UN tetap akan dilaksanakan bobot nilai sekolah minimal sama atau sanggup lebih tinggi dibandingkan bobot nilai UN. Minimal kita berharap tahun depan nilai sekolah mempunyai bobot 50% dan nilai UN 50%.
Hal lain yang perlu menerima perhatian dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) ialah dilema pengalokasian anggaran. Dalam pengalokasioan anggaran dari APBN untuk pelaksanaan UN sama sekali tidak teralokasikan anggaran untuk Panitia Pelaksana Ujian Nasional. Bagi Sekolah Menengah Pertama yang biaya operasionalnya berasal dari dana BOS hal ini akan menjadi dilema dan bahkan pada beberapa sekolah menjadi permasalahan yang perlu segera dicarikan solusinya. Mari kita cermati! Seorang pengawas ruang yang bekerja selama 4 hari @120 menit menerima honorarium Rp. 200.000 dipotong pajak dan ditambah transfor dari sekolah. Sedangkan Panitia UN yang bekerja terkadang sebulan sebelum pelaksanaan UN dengan tanggung jawab tidak hanya sebatas menjaga kerahasiaan namun termasuk keamanan menerima honorarium di bawah Rp. 200.000,- dipotong pajak. Mengapa demikian? Karena alokasi BOS untuk pelaksaaan UN itu sendiri terbatas, sedangkan pungutan bahkan pemberian dari orang bau tanah sudah tidak dimungkinkan lagi. Pungutan dihentikan menurut aturan, pemberian menjadi lahan bagi LSM dan sejenisnya. Jika hal ini dibiarkan akan menjadi polemik lantaran untuk di tempat sebagian besar guru akan menentukan menjadi pengawas dan tidak mau menjadi Panitia UN. Dan kesannya mungkin kediktatoran kepala sekolah yang menjadi penentu guru untuk menjadi panitia atau pengawas. Poblematika ini akan berujung pada ketidakharmonisan dalam lingkungan sekolah. Oleh lantaran itu, melalui goresan pena ini kami memberi masukan biar pemerintah pada tahun pelajaran yang akan tiba sanggup menunjukkan alokasi dana tidak hanya untuk pengawas ruang, tetapi juga untuk kepanitiaan di sekolah.
(Terima kasih. Mohon jawaban dan komentar dari rekan-rekan kepala sekolah dan guru di seluruh Indonesia)