Rancangan Uu Nomor Tahun 2014 Ihwal Pemilihan Kepala Tempat (Uu Pilkada Tahun 2014)
11:20 PM
Edit
Inilah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada Yang Telah Disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Pilkada dalam Sidang Paripurna DRP pada Hari Jumat Tanggal 26 September 2014
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mewujudkan Pemilihan Kepala Daerah yang demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu diatur penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
b. bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang wacana Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan sehingga perlu diatur dalam Undang-Undang tersendiri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam aksara a dan aksara b perlu membentuk Undang-Undang wacana Pemilihan Kepala Daerah;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 22 E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH.
BAB I KETENTUAN UMU
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD berdasarkan asas otonomi dan kiprah pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah yaitu Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut DPRD Provinsi atau sebutan lainnya yaitu forum perwakilan rakyat daerah di Provinsi dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut DPRD Kabupaten/Kota atau sebutan lainnya yaitu forum perwakilan rakyat daerah di Kabupaten/Kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Kepala Daerah yaitu gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota.
7. Pemilihan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut/disingkat pilkada yaitu Pemilihan Gubernur dan pemilihan Bupati/Walikota yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menentukan Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Partai Politik yaitu Partai Politik peserta pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Partai Politik dan termasuk partai politik lokal di Aceh
9. Partai Politik Lokal yaitu sesuaikan dengan UU Aceh
Catatan: dibuat satu pasal untuk mengakomodir Partai lokal di Aceh.
10. Gabungan Partai Politik yaitu adonan 2 (dua) Partai Politik atau lebih yang tolong-menolong mencalonkan 1 (satu) Calon Bupati/Walikota.
11. Bakal Calon Gubernur/Bupati/Walikota yaitu calon peserta pemilihan yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di KPU Provinsi/Kab/Kota.
12. Calon Gubernur/ Bupati/Walikota yaitu peserta pemilihan yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau perseorangan yang memenuhi persyaratan.
13. Komisi Pemilihan Umum Provinsi yang selanjutnya disebut KPU Provinsi yaitu KPU Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang diberi wewenang perhiasan untuk melaksanakan seleksi dan penetapan calon Gubernur dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur.
14. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut KPU Kab/Kota yaitu KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang diberi wewenang khusus untuk menyelenggarakan pemilihan di Kabupaten/Kota.
Alternatif : Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, yaitu Penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota. (UU 22/2007)
15. Panitia Pemilihan di DPRD Provinsi yang selanjutnya disebut Panlih yaitu panitia yang dibuat dengan keputusan Pimpinan DPRD dan bertugas untuk menyusun peraturan tata tertib pemilihan Gubernur serta menyelenggarakan pemilihan.
16. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, yaitu panitia yang dibuat oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemilihan di tingkat kecamatan atau nama lain.
17. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS, yaitu panitia yang dibuat oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemilihan di tingkat desa atau nama lain/kelurahan.
18. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disebut KPPS, yaitu kelompok yang dibuat oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan bunyi di tempat pemungutan suara.
19. Tempat Pemungutan Suara, selanjutnya disebut TPS, yaitu tempat dilaksanakannya pemungutan bunyi untuk Pemilihan Bupati/Walikota.
20. Panitia Pengawas Pemilihan Bupati/Walikota, selanjutnya disebut Panwaslih Kabupaten/Kota, yaitu panitia yang dibuat oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota.
21. Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslih kecamatan, yaitu panitia yang dibuat oleh Panwaslih Kabupaten/Kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah kecamatan.
22. Pengawas Pemilihan Lapangan yaitu petugas yang dibuat oleh Panwaslih kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di desa/kelurahan.
23. Pemilih untuk Pemilihan Bupati/Walikota yaitu penduduk yang berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Bupati/Walikota.
24. Kampanye Pemilihan Bupati/Walikota, selanjutnya disebut Kampanye, yaitu kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan memperlihatkan visi, misi, dan jadwal Calon Bupati/Walikota.
BAB II PEMILIHAN GUBERNUR
Bagian Kesatu
Asas dan Pelaksanaan
Pasal 2
Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Pemilihan Gubernur dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
Bagian Kedua
Penyelenggara Pemilihan gubernur
Pasal 4
Penyelenggara Pemilihan Gubernur adalah:
a. KPU Provinsi; dan
b. DPRD Provinsi.
Pasal 5
(1) KPU Provinsi melaksanakan kegiatan pencalonan.
(2) DPRD Provinsi melaksanakan kegiatan pemungutan bunyi dan penetapan pemenang pemilihan.
Pasal 6
(1) KPU Provinsi dalam melaksanakan kegiatan pencalonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dibantu oleh KPU Kabupaten/Kota untuk membentuk PPK dan PPS.
(2) DPRD Provinsi dalam melaksanakan kegiatan pemungutan bunyi dan penetapan pemenang pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) membentuk Panlih.
Pasal 7
(1) Panlih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dibuat paling lambat 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan gubernur.
(2) Anggota Panlih terdiri dari unsur-unsur Fraksi dan masing-masing fraksi sanggup diwakili 3 (tiga) orang.
(3) Ketua dan para Wakil Ketua DPRD lantaran jabatannya yaitu Ketua dan Wakil Ketua Panlih merangkap anggota.
(4) Sekretaris DPRD lantaran jabatannya yaitu Sekretaris Panlih, bukan anggota.
(5) Apabila seseorang anggota Panlih dicalonkan atau mencalonkan diri menjadi calon, yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari keanggotaan Panlih.
(6) Penyusunan tata tertib pemilihan dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pembentukan panlih.
(7) Penyusunan tata tertib pemilihan diselesaikan paling usang 14 (empat belas) hari.
(8) Tugas panlih berakhir setelah penetapan pemenang pemilihan Gubernur.
Pasal 8
(1) Pemilihan gubernur dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan pertama dan tahapan kedua.
(2) Tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup :
a. Pengumuman registrasi calon;
b. Verifikasi jumlah dukungan calon perseorangan;
c. pendaftaran calon;
d. seleksi persyaratan calon; dan
e. penetapan calon;
(3) Tahapan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup :
a. penyampaian visi dan misi;
b. pemungutan dan penghitungan suara;
c. penetapan hasil pemilihan; dan
d. uji publik terhadap hasil pemilihan;
(4) Tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh KPU Provinsi
(5) Tahapan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh DPRD Provinsi.
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan tahapan pertama pemilihan, KPU Provinsi mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban :
a. mengumumkan registrasi calon;
b. melaksanakan kegiatan pendaftaran;
c. melaksanakan kegiatan penyaringan;
d. melaksanakan kegiatan penetapan calon; dan
e. menyampaikan nama-nama calon beserta dokumen kepada DPRD Provinsi.
(2) Dalam melaksanakan tahapan kedua pemilihan, panlih mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban :
a. menyelenggarakan penyampaian visi dan misi calon (termasuk penyampaian visi dan misi calon yang akan dimasukkan dalam rincian kegiatan penyampaian visi dan misi);
b. melaksanakan pemungutan bunyi dalam rapat paripurna tingkat I;
c. menetapkan hasil pemilihan;
d. melaksanakan uji publik;
e. membahas keberatan (apabila ada) dalam rapat paripurna tingkat II; dan
f. menetapkan pemenang pemilihan;
Bagian Ketiga
Pencalonan
Paragraf Kesatu
Peserta Pemilihan dan Persyaratan Calon
Pasal 10
(1) Peserta pemilihan gubernur adalah;
a. calon yang diusulkan oleh partai politik atau adonan partai politik.
b. calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang,
(2) Partai politik atau adonan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara a sanggup mendaftarkan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah bangku DPRD Provinsi atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan bunyi sah dalam pemilihan umum anggota DPRD Provinsi yang bersangkutan.
(3) Calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara b sanggup mendaftarkan diri sebagai calon gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk hingga dengan 2.000,000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) hingga dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
(4) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
(5) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam proses penetapan calon, partai politik atau adonan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat,
(7) Dalam proses penetapan calon perseorangan, KPU provinsi memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
Pasal 11
(1) Warga negara Republik Indonesia yang sanggup ditetapkan menjadi Gubernur adalah yang memenuhi syarat- syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, harapan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah Pusat;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. mempunyai kecakapan dan pengalaman yang cukup di bidang pemerintahan;
e. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil investigasi kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
h. Tidak pernah dipidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap akhir perbuatan pidana asusila;
i. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap;
j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
k. tidak sedang mempunyai tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara tubuh aturan yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
n. memiliki laporan pajak pribadi;
o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
p. memiliki visi, misi dan jadwal strategis mengacu pada RPJPD;
q. tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur untuk daerah yang sama kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan;
r. (tidak dalam status terdakwa); catatan: penghalusan kalimat (tidak sedang dalam proses peradilan).
s. Cuti kampanye bagi Gubernur/Bupati/walikota, Pejabat negara lainnya dan berhenti sementara (non aktif) bagi Pimpinan dan anggota DPRD; dan
t. Berhenti dari jabatan bagi TNI/Polri, dan PNS. catatan: ditambah dengan kalimat “jabatan struktural”.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara g tidak berlaku apabila seorang terpidana telah selesai menjalani pidana lebih dari 5 (lima) tahun dan mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi terpidana serta tidak pernah mengulang tindak pidananya.
Paragraf Kedua
Verifikasi Dukungan Calon
Pasal 12
(1) Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan dilakukan oleh KPU provinsi yang dibantu oleh KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS.
(2) Calon perseorangan menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28 (dua puluh delapan) hari sebelum waktu registrasi calon dimulai.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling usang 14 (empat belas) hari semenjak dokumen dukungan calon perseorangan diserahkan.
(4) Hasil verifikasi dukungan calon perseorangan oleh PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam gosip jadwal (yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari), yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan kepada pasangan calon.
(5) PPK melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari.
(6) Hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam gosip jadwal yang selanjutnya diteruskan kepada KPU kabupaten/kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada calon.
(7) KPU kabupaten/kota melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari.
(8) Hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dituangkan dalam gosip jadwal yang selanjutnya diteruskan kepada KPU provinsi dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada calon untuk dipergunakan sebagai bukti pemenuhan persyaratan jumlah dukungan untuk pencalonan pemilihan gubernur.
Paragraf Ketiga
Pendaftaran Calon
Pasal 13
(1) Partai politik atau adonan partai politik pada ketika mendaftarkan calon Gubernur, wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung;
b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan calon;
c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas calon yang dicalonkan dan ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon gubernur;
e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai calon;
f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; catatan: bagaimana dengan pegawai BUMN/BUMD, advokat, pegawai swasta.
h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD;
i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri;
j. kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
k. visi, misi, dan jadwal dari pasangan calon secara tertulis.
(2) Calon perseorangan pada ketika mendaftar wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh calon perseorangan;
b. berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;
c. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai calon;
d. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. surat pernyataan nonaktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD;
g. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri;
h. kelengkapan persyaratan calon gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
i. visi, misi, dan jadwal dari pasangan calon secara tertulis.
(3) Dukungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (3) hanya diberikan kepada satu calon perseorangan.
(4) Partai politik atau adonan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) hanya sanggup mengusulkan satu calon dan calon tersebut tidak sanggup diusulkan lagi oleh partai politik atau adonan partai politik lainnya.
(5) Pengumuman registrasi calon dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah KPU provinsi mendapatkan pemberitahuan mengenai simpulan masa jabatan gubernur dari DPRD provinsi.
(6) Pengumuman registrasi calon dilaksankan selama 3 (tiga) hari.
(7) Pendaftaran calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling usang 30 (tiga puluh) hari terhitung semenjak pengumuman registrasi calon.
(8) Masa registrasi dilaksanakan selama 3 (tiga) hari.
Pasal 14
(1) Pemilihan gubernur diawali dengan pemberitahuan secara tertulis DPRD provinsi kepada KPU provinsi mengenai berakhirnya masa jabatan gubernur;
(2) Berdasarkan pemberitahuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi menyusun program, kegiatan dan jadwal kegiatan pencalonan.
(3) Pemberitahuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan gubernur.
(4) Dalam hal DPRD provinsi tidak memberikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap DPRD telah memberikan pemberitahuan dimaksud kepada KPU Provinsi.
(5) Dalam hal DPRD provinsi tidak memberikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selanjutnya KPU Provinsi menyusun program, kegiatan dan jadwal kegiatan pencalonan dengan mempertimbangkan simpulan masa jabatan gubernur.
Paragraf Keempat
Verifikasi Kelengkapan Persyaratan
Pasal 15
(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diteliti persyaratan administrasinya dengan melaksanakan penjelasan kepada instansi pemerintah yang berwenang dan mendapatkan masukan dari masyarakat terhadap persyaratan calon.
(2) Penelitian persyaratan manajemen sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sehari setelah penutupan pendaftaran.
(3) Penelitian persyaratan manajemen sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan selama 10 (sepuluh) hari.
(4) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada calon partai politik dengan tembusan pimpinan partai politik, adonan partai politik yang mengusulkan, atau calon perseorangan paling usang 24 (dua puluh empat) hari terhitung semenjak tanggal penutupan pendaftaran.
(5) Apabila calon partai politik atau adonan partai politik belum memenuhi syarat atau ditolak lantaran tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), partai politik atau adonan partai politik yang mengajukan calon diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan calon atau mengajukan calon gres paling usang 7 (tujuh) hari semenjak ketika pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU provinsi.
(6) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 14 ayat (2) calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan calon paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak ketika pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU provinsi.
(7) Apabila calon perseorangan ditolak oleh KPU provinsi lantaran tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 12 ayat (2), calon tidak sanggup mencalonkan kembali.
(8) KPU provinsi melaksanakan penelitian ulang wacana kelengkapan dan/atau perbaikan persyaratan bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebut paling usang 14 (empat belas) hari semenjak kelengkapan persyaratan diterima sebagaimana dimaksud ayat (5) kepada pimpinan partai politik atau adonan partai politik yang mengusulkannya atau calon perseorangan.
(9) Apabila hasil penelitian berkas calon sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPU provinsi, partai politik, adonan partai politik, atau calon perseorangan tidak sanggup lagi mengajukan calon.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian persyaratan manajemen calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU.
Paragraf Kelima
Penetapan Calon
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (8), KPU provinsi memutuskan calon sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dalam rapat pleno yang dituangkan dalam keputusan KPU Provinsi disertai Berita Acara Penetapan calon.
(2) Calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari semenjak selesainya penelitian.
(3) Terhadap penetapan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bakal calon yang merasa dirugikan sanggup mengajukan keberatan hasil penetapan calon kepada Pengadilan Tinggi paling lambat 3 (tiga) hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pengadilan Tinggi memutus keberatan hasil penetapan calon paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberatan dari bakal calon.
(5) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. (Penjelasan memuat : tidak ada upaya aturan biasa dan luar biasa).
(6) KPU Provinsi menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi.
(7) KPU Provinsi memutuskan dan mengumumkan kembali nama-nama calon gubernur yang berhak dipilih berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi berakibat yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 calon, maka KPU Provinsi melaksanakan proses registrasi ulang, sekaligus menyusun kembali jadwal pemilihan yang baru.
(9) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (8), paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan Tinggi diterima oleh KPU Provinsi.
Pasal 17
(1) Partai politik atau adonan partai politik dihentikan menarik calonnya dan/atau calonnya dihentikan mengundurkan diri terhitung semenjak ditetapkan sebagai calon oleh KPU Provinsi.
(2) Calon perseorangan dihentikan mengundurkan diri terhitung semenjak ditetapkan sebagai calon oleh KPU Provinsi.
(3) Calon perseorangan yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai hukuman tidak sanggup mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik/gabungan partai politik sebagai calon Kepala Daerah untuk selamanya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(4) Apabila calon perseorangan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah ditetapkan oleh KPU Provinsi sebagai calon sehingga tinggal 1 (satu) calon, calon tersebut dikenai hukuman sebagaimana diatur pada ayat (3) dan denda sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(5) Apabila partai politik atau adonan partai politik menarik calonnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik atau adonan partai politik yang mencalonkan tidak sanggup mengusulkan calon pengganti.
(6) Apabila calon perseorangan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), calon perseorangan dimaksud dinyatakan gugur dan tidak sanggup diganti calon perseorangan lain.
Paragraf Keenam
Penyampaian Nama-Nama Calon
Pasal 18
(1) Nama-nama calon gubernur yang telah ditetapkan KPU Provinsi sebagaimana dimaksud Pasal 16, diserahkan kepada DPRD provinsi untuk dilakukan pemilihan.
(2) Nama-nama calon gubernur sebagaimana dimaksud ayat (1) yaitu nama-nama calon gubernur sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (2), atau dalam hal ada keberatan yaitu sesuai dimaksud Pasal 16 ayat (8).
(3) Penyerahan nama-nama calon sebagaimana dimaksud ayat (1) disertai kelengkapan dokumen pencalonan dan dibuat gosip jadwal penyerahan.
(4) Penyerahan nama-nama dan dokumen sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan paling usang 3 hari setelah penetapan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Pasal 19
(1) Berdasarkan nama-nama calon yang disampaikan KPU provinsi kepada DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), selanjutnya Pimpinan DPRD menyerahkan kepada panlih untuk dilakukan proses pemilihan.
(2) Setelah mendapatkan nama-nama dan dokumen calon, panlih menyusun program, kegiatan dan jadwal pemilihan.
Pasal 20
(1) Dalam hal salah satu calon meninggal dunia semenjak penetapan calon hingga pada ketika dimulainya penyampaian visi dan misi calon, partai politik atau adonan partai politik yang calonnya meninggal dunia sanggup mengusulkan calon pengganti paling usang 3 (tiga) hari semenjak calon meninggal dunia.
(2) KPU provinsi melaksanakan penelitian persyaratan manajemen calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menetapkannya paling usang 4 (empat) hari terhitung semenjak tanggal pendaftaran.
(3) Dalam hal salah seorang dari calon meninggal dunia semenjak penetapan calon hingga pada ketika dimulainya penyampaian visi dan misi calon sehingga jumlah calon kurang dari 2 (dua), KPU provinsi membuka kembali registrasi calon paling lambat 10 (sepuluh) hari.
(4) Pendaftaran calon kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak menghilangkan hak satu calon yang masih ada.
(5) Dalam hal salah satu calon meninggal dunia pada ketika dimulainya penyampaian visi dan misi calon hingga hari pemungutan bunyi dan masih terdapat 2 (dua) calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan gubernur dilanjutkan dan calon yang meninggal dunia tidak sanggup diganti serta dinyatakan gugur.
(6) Dalam hal salah seorang calon partai politik, adonan partai politik, atau calon perseorangan meninggal dunia pada ketika dimulainya penyampaian visi dan misi calon hingga hari pemungutan suara, calon kurang dari 2 (dua) tahapan pelaksanaan pemilihan gubernur ditunda paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(7) KPU provinsi membuka kembali registrasi calon paling usang 30 (tiga puluh) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Partai politik atau adonan partai politik yang calonnya meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengusulkan calon pengganti.
(9) KPU provinsi melaksanakan penelitian persyaratan manajemen usulan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan menetapkannya paling usang 21 (dua puluh satu) hari terhitung semenjak registrasi calon pengganti.
Bagian Keempat
Penyampaian Visi, Misi Dan Program
Pasal 21
(1) Penyampaian visi, misi dan jadwal dilaksanakan sebagai serpihan dari penyelenggaraan Pemilihan gubernur.
(2) Penyelenggara dan penanggung jawab penyampaian visi dan misi yaitu Panlih.
(3) Penyampaian visi, misi dan jadwal masing-masing calon dilakukan dalam Rapat DPRD Provinsi yang bersifat terbuka untuk umum, dengan jadwal penyampaian visi, misi, jadwal masing-masing calon, dan dilakukan tanya jawab/dialog dengan anggota DPRD Provinsi.
(4) Dalam penyampaian visi, misi dan jadwal masing-masing calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sanggup melibatkan panelis/pakar untuk mendampingi anggota DPRD dalam melaksanakan tanya jawab/dialog.
(5) Bentuk serta format visi, misi, dan jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
(6) Jadwal pelaksanaan penyampaian visi, misi dan jadwal ditetapkan oleh Panlih.
(7) Penyampaian visi, misi dan jadwal dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.
(8) Penyampaian visi, misi dan jadwal sanggup di siarkan melalui media cetak dan media elektronik.
(9) Masa penyampaian visi, misi dan jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling usang 3 (tiga) hari.
Bagian Kelima
Perlengkapan Pemungutan Suara
Pasal 22
(1) Panlih menyusun kebutuhan perlengkapan pemungutan suara.
(2) Sekretaris DPRD Provinsi bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 23
(1) Jenis perlengkapan pemungutan bunyi terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. alat untuk memberi tanda pilihan; dan
f. papan tulis dan alat tulis untuk penghitungan suara
g. dsb.
(2) Dalam hal pelaksanaan pemungutan bunyi memakai e-voting, dipakai perlengkapan pemungutan bunyi pendukung e-voting.
Pada Penjelasan memuat: yang dimaksud E-voting dalam ketentuan ini yaitu proses pemungutan dan penghitungan bunyi dengan memakai perangkat elektronik. Surat bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara b memuat foto, nama dan nomor urut calon.
(3) Bentuk, ukuran dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan bunyi ditetapkan dengan peraturan Tata Tertib Pemilihan.
Bagian Keenam
Pemungutan Suara,
Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan
Pasal 24
(1) Pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil pemilihan, dan pembahasan hasil uji publik dalam pemilihan gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi.
(2) Rapat Paripurna DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari Rapat Paripurna Tahap I dan Rapat Paripurna Tahap II.
Paragraf Kesatu
Rapat Paripurna Tahap I
Pasal 25
(1) Rapat Paripurna Tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) untuk melaksanakan kegiatan Penyampaian visi, misi dan program, Pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil pemilihan.
(2) Rapat Paripurna Tahap I untuk pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 1 (satu) hari terhitung setelah penyampaian visi, misi dan jadwal seluruh calon gubernur.
(3) Rapat Paripurna Tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD.
(4) Apabila pada pembukaan Rapat Paripurna Tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jumlah anggota DPRD belum mencapai quorum, rapat ditunda paling usang 1 (satu) jam.
(5) Apabila quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terpenuhi, Rapat Paripurna Tahap I ditunda paling usang 1 (satu) jam lagi.
(6) Apabila pada simpulan waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan sanggup menunda rapat paling usang 3 (tiga) hari. (dalam penjelasan: setiap penundaan dibuat gosip acaranya)
(7) Setelah penundaan selama 3 (tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5) rapat dilaksanakan kembali sesuai dengan ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(8) Apabila quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum terpenuhi, Rapat paripurna Tahap I tetap dilaksanakan.
(9) Apabila quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum terpenuhi, tetapi telah dihadiri oleh anggota yang berasal lebih dari 1 (satu) fraksi Rapat paripurna Tahap I tetap dilaksanakan.
(10) Apabila quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum terpenuhi, keputusan dan penyelesaiannya difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri.
Paragraf Kedua
Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara
Pasal 26
(1) Setiap anggota DPRD memberikan suaranya hanya kepada 1 (satu) calon.
(2) Pemungutan bunyi dan penghitungan bunyi dalam pemilihan gubernur untuk memutuskan 2 (dua) calon yang memperoleh bunyi urutan terbesar pertama (pemenang pertama) dan urutan terbesar kedua (pemenang kedua), atau pemenang bersama.
(3) Apabila hasil perolehan penghitungan bunyi calon urutan terbesar pertama terdapat 2 (dua) calon, keduanya ditetapkan sebagai pemenang bersama.
(4) Apabila hasil perolehan penghitungan bunyi calon urutan terbesar pertama terdapat 3 (tiga) calon atau lebih yang memperoleh jumlah bunyi yang sama, dilakukan pemilihan diantara calon dimaksud, dan bagi calon yang mendapatkan bunyi terbanyak pertama dan kedua ditetapkan sebagai pemenang pertama dan pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Apabila hasil perolehan penghitungan bunyi calon urutan terbesar kedua terdapat 2 (dua) calon atau lebih yang memperoleh jumlah bunyi yang sama, dilakukan pemilihan di antara calon dimaksud, dan calon yang mendapatkan bunyi terbanyak ditetapkan sebagai calon urutan terbesar kedua.
(6) Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Keputusan DPRD provinsi.
Pasal 27
(1) Terhadap hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6) dilakukan uji publik yang berlangsung selama 3 (tiga) hari kerja terhitung semenjak ditutupnya Rapat paripurna Tahap I.
(2) Apabila terdapat calon yang keberatan terhadap hasil pemilihan, sanggup mengajukan keberatan.
(3) Keberatan calon pada uji publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berkenaan dengan adanya dugaan politik uang, yang diduga terjadi sebelum, selama dan setelah Rapat paripurna Tahap I.
(4) Panlih mendapatkan tembusan keberatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dari satu atau beberapa calon.
(5) Apabila hingga simpulan masa uji publik tidak ada calon yang keberatan terhadap hasil pemilihan, DPRD memutuskan hasil pemilihan dalam Keputusan DPRD provinsi.
Pasal 28
(1) Keberatan oleh calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2) diajukan kepada Mahkamah Agung paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil penghitungan bunyi dalam pemilihan Gubernur, dengan tembusan kepada Panlih.
(2) Mahkamah Agung memutus keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberatan calon oleh Mahkamah Agung yang penyampaiannya sanggup melalui Pengadilan Negeri/ Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
(3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat.
(4) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah diterima oleh calon, DPRD provinsi, Presiden dan Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling usang 3 (tiga) hari semenjak selesai diucapkan.
Paragraf ketiga
Rapat Paripurna Tahap II
Pasal 29
(1) Rapat Paripurna Tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) untuk melaksanakan kegiatan pembahasan hasil uji publik dan penetapan hasil pemilihan sesuai putusan Mahkamah Agung.
(2) Apabila Panlih mendapatkan tembusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) hingga dengan masa uji publik berakhir, panlih mengagendakan Rapat Paripurna Tahap II.
(3) Rapat Paripurna Tahap II dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD.
(4) Apabila pada pembukaan rapat, jumlah peserta belum mencapai quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Rapat Paripurna Tahap II ditunda selama 1 (satu) jam.
(5) Apabila setelah ditunda selama 1 (satu) jam peserta rapat belum mencapai quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Rapat Paripurna Tahap II ditunda 1 (satu) jam lagi.
(6) Apabila setelah dibuka untuk kedua kalinya, rapat belum mencapai quorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Rapat Paripurna Tahap II tetap dilaksanakan.
(7) Rapat Paripurna Tahap II dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan Mahkamah Agung diterima oleh DPRD provinsi.
Pasal 30
(1) Rapat Paripurna Tahap II dilaksanakan setelah adanya Putusan Mahkamah Agung.
(2) Apabila Putusan Mahkamah Agung menolak permohonan somasi calon, Rapat Paripurna Tahap II memutuskan hasil pemilihan.
(3) Apabila putusan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan somasi calon, DPRD melaksanakan putusan Mahkamah Agung.
Paragraf Keempat
Pemilihan Ulang
Pasal 31
(1) Apabila berdasarkan putusan Mahkamah Agung menyatakan calon terbukti melaksanakan politik uang yang menimbulkan batalnya hasil pemilihan, dilaksanakan pemilihan ulang.
(2) Pemilihan ulang diikuti oleh calon yang tidak terlibat politik uang.
(3) Dalam hal calon yang berhak mengikuti pemilihan 2 (dua) calon atau lebih, pribadi dilaksanakan pemungutan bunyi ulang.
(4) Dalam hal calon yang berhak mengikuti pemilihan kurang dari 2 (dua) calon, kegiatan pemilihan diulang mulai dari kegiatan registrasi calon.
(5) Calon yang tidak terlibat politik uang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berhak mengikuti pemilihan ulang.
(6) DPRD provinsi memberitahukan kepada KPU provinsi untuk pelaksanaan kegiatan registrasi calon.
(7) Pelaksanaan registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung.
Pasal 32
(1) Keberatan calon terhadap hasil pemilihan sanggup diproses apabila dilampiri pengakuan tertulis mengenai adanya politik uang dari beberapa anggota DPRD provinsi
(2) Pengakuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila ditulis pada lembar bersegel atau kertas bermaterai cukup.
Pasal 33
(1) Anggota DPRD provinsi yang memberikan pengakuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, melalui Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi sanggup dijatuhi hukuman manajemen hingga dengan pemberhentian keanggotaan sebagai anggota DPRD provinsi.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk larangan mengikuti proses pemilihan ulang.
Pasal 34
Atas pengakuan tertulis dari anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, DPRD provinsi menyerahkan penyelesaian bagi pihak-pihak yang terlibat politik uang kepada pihak yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.
Paragraf Kelima
Pencalonan, Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Ulang
Pasal 35
(1) Dalam hal salah seorang calon berhalangan tetap setelah penetapan hasil pemilihan hingga dimulainya hari pemungutan bunyi ulang, tahapan pelaksanaan pemilihan gubernur ditunda paling usang 30 (tiga puluh) hari.
(2) Partai politik atau adonan partai politik yang calonnya berhalangan tetap mengusulkan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari semenjak calon berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPU provinsi, dan KPU provinsi melaksanakan penelitian persyaratan manajemen dan memutuskan calon pengganti paling usang 4 (empat) hari terhitung semenjak registrasi calon pengganti.
(3) Dalam hal salah seorang calon perseorangan berhalangan tetap pada ketika dimulainya pemungutan bunyi ulang, calon perseorangan tersebut dinyatakan gugur.
(4) Dalam hal dengan gugurnya hak calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah calon dari partai politik atau adonan partai politik yang tidak terlibat politik uang kurang dari 2 (dua), maka partai politik atau adonan partai politik yang bersangkutan diberikan hak mengusulkan 1 (satu) calon tambahan.
(5) Partai politik atau adonan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengusulkan calon perhiasan paling lambat 3 (tiga) hari semenjak calon perseorangan berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada KPU provinsi, dan KPU provinsi melaksanakan penelitian persyaratan manajemen dan memutuskan calon pengganti paling usang 4 (empat) hari terhitung semenjak registrasi calon pengganti.
(6) Terhadap kedua calon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan pemilihan untuk menentukan pemenang pertama dan pemenang kedua.
Bagian Ketujuh
Pengesahan Hasil Pemilihan
Paragraf Kesatu
Usul Pengesahan
Pasal 36
(1) DPRD Provinsi mengusulkan ratifikasi hasil pemilihan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan calon gubernur terpilih dilengkapi berkas pemilihan.
(2) Berkas pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari tata tertib pemilihan, gosip jadwal hasil rapat paripurna, risalah rapat paripurna dan dokumen lain semenjak registrasi calon.
Paragraf Kedua
Pengesahan
Pasal 37
Pengesahan pengangkatan calon Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
Pasal 38
(1) Presiden membentuk Tim seleksi hasil pemilihan.
(2) Keanggotaan Tim seleksi terdiri atas Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kepala Badan Intelijen Negara. (apakah perlu untuk memasukkan akademisi dan Lembaga kemasyarakatan)
(3) Tim seleksi bertugas untuk melaksanakan verifikasi dan penjelasan ulang persyaratan administratif, mengadakan penilaian kemampuan, pengalaman, integritas, dan wawasan dari 2 (dua) calon gubernur yang diusulkan DPRD Provinsi.
(4) Hasil verifikasi, klarifikasi, dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta rekomendasi tim seleksi disampaikan kepada Presiden.
(5) Atas dasar rekomendasi tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden mengesahkan pengangkatan gubernur.
(6) Tata cara pembentukan dan tata kerja tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pelantikan
Pasal 39
(1) Gubernur sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik.
(2) Sumpah/janji gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah dan sebagai Wakil Pemerintah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
(3) Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung semenjak peresmian dan sesudahnya sanggup dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 40
(1) Gubernur dilantik oleh Presiden.
(2) Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup didelegasikan kepada Menteri Dalam Negeri.
(3) Tata cara peresmian gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Penggantian Gubernur yang Berhenti atau Diberhentikan
Pasal 41
(1) Apabila gubernur meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap atau diberhentikan dalam masa jabatannya, dan sisa masa jabatannya lebih dari setengah masa jabatan maka dilakukan pemilihan gubernur.
(2) Gubernur hasil pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meneruskan sisa masa jabatan gubernur yang meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap atau diberhentikan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PEMILIHAN BUPATI/WALIKOTA
Bagian Pertama
Asas dan Pelaksanaan Pemilihan
Paragraf Kesatu
Asas
Pasal 42
Pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Paragraf Kedua
Pelaksanaan Pemilihan
Pasal 43
Pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
Pasal 44
(1) Pemilihan Bupati/Walikota diawali dengan pemberitahuan DPRD Kabupaten/Kota kepada KPU Kabupaten/Kota secara tertulis.
(2) Pemungutan bunyi pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan.
(3) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan bunyi Pemilihan Bupati/Walikota ditetapkan dengan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 45
(1) Pemilihan Bupati/Walikota yang berakhir masa jabatannya dalam tahun yang sama dan berada dalam wilayah provinsi yang sama dilaksanakan secara bersamaan.
(2) Pemungutan bunyi dalam pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama.
(3) Untuk memutuskan hari dan tanggal pelaksanaan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan berakhirnya masa jabatan Bupati/Walikota yang terbanyak dalam masa 5 (lima) tahun.
(4) Penetapan jadwal pelaksanaan peyelenggaraan pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh KPU Provinsi.
Pasal 46
(1) Tahapan pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan pertama dan tahapan kedua.
(2) Tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup :
a. penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran calon;
c. penetapan calon;
(3) Tahapan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup :
a. masa kampanye;
b. masa tenang;
c. pemungutan dan penghitungan suara;
d. penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara;
(4) Setelah melaksanakan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilanjutkan dengan penetapan calon Bupati/Walikota terpilih dan pengucapan sumpah/janji Bupati/Walikota.
Bagian Kedua
Penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota
Pasal 47
(1) Pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) KPU Kabupaten/Kota memberikan laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/Kota dengan tembusan KPU Provinsi dan Gubernur.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh KPU Provinsi diteruskan kepada KPU dan oleh Gubernur diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri.
Pasal 48
Tugas, wewenang dan kewajiban KPU dalam penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota meliputi:
a. menyusun anutan tata cara penyelenggaraan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
b. memfasilitasi dan mengkoordinasikan jadwal pemilihan bupati/walikota; (penjelasan koordinasi menyangkut penyelenggaraan Pilkada secara bersamaan)
c. melakukan penilaian penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota;
d. menerima laporan hasil pemilihan bupati/walikota dari KPU Kabupaten/Kota;
e. melanjutkan tahapan pelaksanaan pemilihan bupati/walikota apabila KPU provinsi/kabupaten/kota tidak sanggup melanjutkan tahapan pemilihan bupati/walikota; dan
f. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 49
Tugas, wewenang dan kewajiban KPU Provinsi dalam penyelenggaraan Pemilihan bupati/walikota meliputi:
a. merencanakan dan memutuskan program, anggaran, dan jadwal Pemilihan Gubernur;
b. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dengan berdasarkan anutan dari KPU sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memutakhirkan data pemilih dan memutuskan daftar pemilih berdasarkan data kependudukan;
d. melakukan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan gubernur yang dibantu oleh KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS.
e. menetapkan calon Gubernur yang telah memenuhi persyaratan;
f. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan bunyi Pemilihan Gubernur berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan bunyi di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan dengan menciptakan gosip jadwal penghitungan bunyi dan sertifikat hasil penghitungan suara;
g. membuat gosip jadwal penghitungan bunyi serta menciptakan sertifikat hasil penghitungan bunyi dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilihan Gubernur, Panwaslih Provinsi, dan KPU;
h. menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilihan Gubernur berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan bunyi Pemilihan Gubernur dari seluruh KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan dengan menciptakan gosip jadwal penghitungan bunyi dan sertifikat hasil penghitungan bunyi dalam rapat pleno KPU provinsi dan memberikan informasi kepada masyarakat;
i. menetapkan dan mengumumkan calon Gubernur terpilih dan menciptakan gosip acara;
j. menyampaikan hasil Pemilihan gubernur kepada DPRD Provinsi, dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
k. menyampaikan laporan semua tahapan/kegiatan penyelenggaraan dan hasil Pemilihan Gubernur kepada KPU, Menteri Dalam Negeri, Gubernur, dan DPRD Provinsi.
l. mengklarifikasi pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran instruksi etik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota;
m. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslih Provinsi;
n. memberikan hukuman administratif kepada anggota KPU Kabupaten/Kota, sekretaris KPU Provinsi, dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melaksanakan tindakan yang menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Panwaslih Provinsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
o. melanjutkan tahapan pelaksanaan pemilihan Bupati/Walikota apabila KPU Kabupaten/Kota tidak sanggup melanjutkan tahapan pemilihan Kepala Daerah;
p. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilihan dengan sempurna waktu;
q. melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
r. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU dan/atau undang-undang.
Pasal 50
(1) Tugas, wewenang, dan kewajiban KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilihan bupati/walikota meliputi:
a. merencanakan dan memutuskan program, anggaran, dan jadwal Pemilihan bupati/walikota;
b. membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilihan bupati/walikota dalam wilayah kerjanya;
c. mengoordinasikan, penyelenggaraan dan mengendalikan semua tahapan Pemilihan bupati/walikota berdasarkan anutan dari KPU ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan;
d. memutakhirkan data pemilih dan memutuskan daftar pemilih berdasarkan data kependudukan;
e. melakukan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/walikota dibantu PPK, dan PPS;
f. menetapkan Calon bupati/walikota yang telah memenuhi persyaratan;
g. melakukan rekapitulasi penghitungan bunyi Pemilihan bupati/walikota berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dari seluruh PPK di wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
h. menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilihan bupati/walikota berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan bunyi Pemilihan bupati/walikota dari seluruh KPU PPK dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan menciptakan gosip jadwal penghitungan bunyi dan sertifikat hasil penghitungan bunyi dalam rapat pleno KPU kabupaten/kota dan memberikan informasi kepada masyarakat;
i. menetapkan dan mengumumkan Calon bupati/walikota terpilih dan menciptakan gosip acaranya;
j. menyampaikan hasil Pemilihan bupati/walikota kepada DPRD kabupaten/kota, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur;
k. menyampaikan laporan semua tahapan/kegiatan penyelenggaraan dan hasil Pemilihan bupati/walikota kepada KPU, Menteri Dalam Negeri, Gubernur, dan DPRD kabupaten/kota.
(penjelasan : yang dimaksud dengan semua tahapan penyelenggaraan pemilihan yaitu mulai dari registrasi hingga dengan penetapan calon Gubernur terpilih)
l. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslih Kabupaten/Kota;
m. memberikan hukuman administratif kepada anggota PPK, PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melaksanakan tindakan yang menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan bupati/walikota yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Panwaslih Kabupaten/Kota dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
n. melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
o. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh oleh KPU dan/atau perundang-undangan
(2) Tugas, wewenang, dan kewajiban KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilihan gubernur meliputi:
a. membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
b. mengoordinasikan, penyelenggaraan dan mengendalikan semua tahapan Pemilihan gubernur diwilayah kerjanya;
c. membantu melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk dibantu PPK, dan PPS;
d. melakukan rekapitulasi penghitungan bunyi berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dari seluruh PPK di wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
e. menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilihan bupati/walikota berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan bunyi Pemilihan bupati/walikota dari seluruh KPU PPK dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan menciptakan gosip jadwal penghitungan bunyi dan sertifikat hasil penghitungan bunyi dalam rapat pleno KPU kabupaten/kota dan memberikan informasi kepada masyarakat;
f. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh oleh KPU provinsi;
g. Menjadi serpihan penyelenggara pemilihan gubernur;
h. Menyampaikan daftar pemilih diwilayah kerjanya;
i. Menyampaikan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi pemilihan gubernur diwilayah kerjanya;
Pasal 51
(1) Untuk menyelenggarakan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat Kecamatan, dibuat PPK.
(2) PPK berkedudukan di ibu kota Kecamatan.
(3) PPK dibuat oleh KPU Kabupaten/Kota paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara.
(4) Masa kiprah PPK disuaikan dengan pelaksanaan kiprah PPK.
Pasal 52
(1) Anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.
(2) Anggota PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(3) Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).
(4) Dalam menjalankan tugasnya, PPK dibantu oleh Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
(5) PPK melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK kepada Bupati/Walikota untuk selanjutnya dipilih dan ditetapkan 1 (satu) nama sebagai Sekretaris PPK dengan keputusan Bupati/Walikota.
Pasal 53
Tugas, wewenang, dan kewajiban PPK meliputi:
a. membantu KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, dan daftar pemilih tetap;
b. membantu KPU Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan Pemilihan Bupati/Walikota;
c. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat Kecamatan yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
d. menerima dan memberikan daftar pemilih kepada KPU Kabupaten/Kota;
e. mengumpulkan hasil penghitungan bunyi dari seluruh TPS di wilayah kerjanya;
f. melakukan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada aksara e dalam rapat dan dihadiri oleh saksi peserta Pemilihan Bupati/Walikota;
g. mengumumkan hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada aksara f;
h. menyerahkan hasil rekapitulasi bunyi sebagaimana dimaksud pada aksara f kepada seluruh peserta Pemilihan Bupati/Walikota;
i. membuat gosip jadwal penghitungan bunyi serta menciptakan sertifikat penghitungan bunyi dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilihan Bupati/Walikota, Panwaslih Kecamatan, dan KPU Kabupaten/Kota;
j. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslih Kecamatan;
k. melakukan penilaian dan menciptakan laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah kerjanya;
l. melakukan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan;
m. melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota dan/atau yang berkaitan dengan kiprah dan wewenang PPK kepada masyarakat;
n. melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh, KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
o. melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 54
(1) Untuk menyelenggarakan Pemilihan Bupati/Walikota di Desa/Kelurahan dibuat PPS.
(2) PPS berkedudukan di Desa/Kelurahan.
(3) PPS dibuat oleh KPU Kabupaten/Kota 5 (lima) bulan sebelum penyelenggaraan Pemilihan.
(4) Masa kerja PPS diubahsuaikan dengan pelaksanaan kiprah PPS.
Pasal 55
(1) Anggota PPS sebanyak 3 (tiga) orang yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.
(2) Anggota PPS diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama Kepala Desa/Kelurahan dan Badan Permusyawaratan Desa/Dewan Kelurahan atau sebutan lainnya.
Pasal 56
Tugas, wewenang, dan kewajiban PPS meliputi:
a. membantu KPU Kabupaten/Kota, dan PPK dalam melaksanakan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap;
b. membentuk KPPS;
c. melakukan verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan;
d. mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih;
e. mengumumkan daftar pemilih;
f. menerima masukan dari masyarakat wacana daftar pemilih sementara;
g. melakukan perbaikan dan mengumumkan hasil perbaikan daftar pemilih sementara;
h. menetapkan hasil perbaikan daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada aksara f untuk menjadi daftar pemilih tetap;
i. mengumumkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada aksara g dan melaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK;
j. menyampaikan daftar pemilih kepada PPK;
k. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat desa/kelurahan atau sebutan lainnya yang telah ditetapkan oleh, KPU Kabupaten/Kota, dan PPK;
l. mengumumkan hasil penghitungan bunyi dari seluruh TPS di wilayah kerjanya;
m. menjaga dan mengamankan keutuhan kotak bunyi setelah penghitungan bunyi dan setelah kotak bunyi disegel;
n. meneruskan kotak bunyi dari setiap TPS kepada PPK pada hari yang sama setelah terkumpulnya kotak bunyi dari setiap TPS dan tidak mempunyai kewenangan membuka kotak bunyi yang sudah disegel oleh KPPS;
o. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Pengawas Pemilihan Lapangan;
p. melakukan penilaian dan menciptakan laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah kerjanya;
q. melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota dan/atau yang berkaitan dengan kiprah dan wewenang PPS kepada masyarakat;
r. membantu PPK dalam menyelenggarakan Pemilihan Bupati/Walikota, kecuali dalam hal penghitungan suara;
s. melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU Kabupaten/Kota, dan PPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
t. melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 57
(1) Anggota KPPS sebanyak 7 (tujuh) orang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.
(2) Anggota KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama ketua KPU Kabupaten/Kota.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPS wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(4) Susunan keanggotaan KPPS terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota.
Pasal 58
Tugas, wewenang, dan kewajiban KPPS meliputi:
a. mengumumkan dan menempelkan daftar pemilih tetap di TPS;
b. menyerahkan daftar pemilih tetap kepada saksi peserta Pemilihan Bupati/Walikota yang hadir dan Pengawas Pemilihan Lapangan;
c. melaksanakan pemungutan dan penghitungan bunyi di TPS;
d. mengumumkan hasil penghitungan bunyi di TPS;
e. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh saksi, Pengawas Pemilihan Lapangan, peserta Pemilihan Bupati/Walikota, dan masyarakat pada hari pemungutan suara;
f. menjaga dan mengamankan keutuhan kotak bunyi setelah penghitungan bunyi dan setelah kotak bunyi disegel;
g. membuat gosip jadwal pemungutan dan penghitungan bunyi serta menciptakan sertifikat penghitungan bunyi dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilihan Bupati/Walikota, Pengawas Pemilihan Lapangan, dan PPK melalui PPS;
h. menyerahkan hasil penghitungan bunyi kepada PPS dan Pengawas Pemilihan Lapangan;
i. menyerahkan kotak bunyi tersegel yang berisi surat bunyi dan sertifikat hasil penghitungan bunyi kepada PPK melalui PPS pada hari yang sama;
j. melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 59
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Panwaslih Kabupaten/Kota, Panwaslih Kecamatan dan Panwaslih Lapangan yang keanggotaannya terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melaksanakan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
(2) Anggota Panwaslih untuk Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 3 (tiga) orang, untuk Kecamatan berjumlah 3 (tiga) orang dan untuk Panwaslih Lapangan berjumlah 1 (satu) orang setiap desa/kelurahan atau sebutan lain.
Pasal 60
(1) Panwaslih Kabupaten/Kota dibuat paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilihan Kabupaten/Kota dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota selesai.
(2) Panwaslih Kecamatan dibuat 1 (satu) bulan sebelum registrasi calon dengan masa tugas, yaitu dimulai pada tahap masa kampanye, pemungutan bunyi dan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di tingkat PPK.
(3) Pengawas Pemilihan Lapangan dibuat 1 (satu) bulan sebelum pemungutan bunyi dan berakhir setelah pemungutan suara.
Pasal 61
Anggota Panwaslih Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati/Walikota dibuat Bawaslu setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Pasal 62
(1) Tugas dan wewenang Panwaslih Kabupaten/Kota adalah:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota yang meliputi:
1. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;
2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan;
3. proses dan penetapan calon;
4. pelaksanaan kampanye;
5. perlengkapan Pemilihan Bupati/Walikota dan pendistribusiannya;
6. pelaksanaan pemungutan bunyi dan penghitungan bunyi hasil Pemilihan Bupati/Walikota;
7. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara;
8. pergerakan surat bunyi dari tingkat TPS hingga ke PPK;
9. proses rekapitulasi bunyi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dari seluruh Kecamatan;
10. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan bunyi ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan;
b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan Bupati/Walikota;
c. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota yang tidak mengandung unsur tindak pidana;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti;
e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota oleh penyelenggara di Kabupaten/Kota;
g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu wacana pengenaan hukuman kepada anggota KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melaksanakan tindakan yang menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung;
h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota; dan
i. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Dalam pelaksanaan kiprah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslih Kabupaten/Kota berwenang:
a. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan hukuman administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara g;
b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan Bupati/Walikota.
Pasal 63
Panwaslih Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan kiprah dan wewenangnya;
b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kiprah Panwaslih pada tingkatan di bawahnya;
c. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan Bupati/Walikota;
d. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan Pemilihan Bupati/Walikota secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;
e. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota yang menimbulkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati/Walikota; dan
f. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 64
Panwaslih Kecamatan dibuat oleh Panwaslih Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslih Kabupaten/Kota.
Pasal 65
Tugas dan wewenang Panwaslih Kecamatan adalah:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah kecamatan yang meliputi:
1. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;
2. pelaksanaan kampanye;
3. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya;
4. pelaksanaan pemungutan dan penghitungan bunyi hasil Pemilihan;
5. pergerakan surat bunyi dari TPS hingga ke PPK;
6. proses rekapitulasi bunyi yang dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS; dan
7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan bunyi ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan;
b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan sebagaimana dimaksud pada aksara a;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
e. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan;
f. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan; dan
g. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 66
Panwaslih Kecamatan berkewajiban:
a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan kiprah dan wewenangnya;
b. menyampaikan laporan kepada Panwaslih Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat kecamatan;
c. menyampaikan laporan pengawasan atas tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah kerjanya kepada Panwaslih Kabupaten/Kota;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslih Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPK yang menimbulkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat kecamatan; dan
e. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 67
Anggota Pengawas Pemilihan Lapangan ditetapkan dengan keputusan Panwaslih Kecamatan yang berjumlah 1 (satu) orang per desa/kelurahan atau sebutan lain yang persyaratan perundang-undangan.
Pasal 68
Tugas dan wewenang Pengawas Pemilihan Lapangan adalah:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan di tingkat desa/kelurahan yang meliputi:
1. pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap;
2. pelaksanaan kampanye;
3. perlengkapan Pemilihan Bupati/Walikota dan pendistribusiannya;
4. pelaksanaan pemungutan bunyi dan proses penghitungan bunyi di setiap TPS;
5. pengumuman hasil penghitungan bunyi di setiap TPS;
6. pengumuman hasil penghitungan bunyi dari TPS yang ditempelkan di sekretariat PPS;
7. pergerakan surat bunyi dari TPS hingga ke PPK; dan
8. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan bunyi ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan.
b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada aksara a;
c. meneruskan temuan dan laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada aksara b kepada instansi yang berwenang;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada PPS dan KPPS untuk ditindaklanjuti;
e. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan wacana adanya tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota; dan
g. melaksanakan kiprah dan wewenang lain yang diberikan oleh Panwaslih Kecamatan.
Pasal 69
Pengawas Pemilihan Lapangan berkewajiban:
a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan kiprah dan wewenangnya;
b. menyampaikan laporan kepada Panwaslih Kecamatan berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang menimbulkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat desa/kelurahan;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada PanwaslihKecamatan berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPS dan KPPS yang menimbulkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati/Walikota di tingkat desa/kelurahan;
d. menyampaikan laporan pengawasan atas tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah kerjanya kepada PanwaslihKecamatan; dan
e. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh Panwaslih Kecamatan.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Calon Bupati/Walikota
Pasal 70
(1) Calon didaftarkan oleh partai politik, adonan partai politik, atau perseorangan.
(2) Pendaftaran calon oleh partai politik ditandatangani oleh ketua partai politik dan sekretaris partai politik tingkat kabupaten/kota atau sebutan lain sesuai dengan AD/ART partai politik.
(3) Pendaftaran calon oleh adonan partai politik ditandatangani oleh para ketua partai politik dan sekretaris partai politik di tingkat kabupaten/kota atau sebutan lain dari setiap partai politik yang bergabung sesuai dengan AD/ART partai politik.
(4) Pendaftaran calon perseorangan ditanda tangani oleh calon perseorangan.
Pasal 71
Warga negara Republik Indonesia yang sanggup ditetapkan menjadi Bupati/Walikota adalah yang memenuhi syarat- syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, harapan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup di bidang pemerintahan/organisasi;
e. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil investigasi kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. tidak pernah melaksanakan perbuatan tercela;
i. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap;
j. mengenal wilayahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
l. tidak sedang mempunyai tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara tubuh aturan yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
m. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap;
n. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
o. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
p. belum pernah menjabat sebagai Bupati/Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan
q. tidak dalam status sebagai penjabat Bupati/Walikota;
r. Membuat visi, misi dan program;
s. (tidak dalam status terdakwa);
t. Cuti kampanye bagi Gubernur/Bupati/walikota, Pejabat negara lainnya dan berhenti sementara (non aktif) bagi Pimpinan dan anggota DPRD; dan
u. Berhenti dari jabatan bagi TNI/Polri, dan PNS.
Pasal 72
(1) Peserta pemilihan Bupati/Walikota adalah;
a. calon yang diusulkan oleh partai politik atau adonan partai politik.
b. calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang,
(2) Partai politik atau adonan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara a sanggup mendaftarkan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah bangku DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan bunyi sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(3) Calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara b sanggup mendaftarkan diri sebagai calon Bupati/Walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk hingga dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) hingga dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500,000 (lima ratus ribu) sampai. dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
(4) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di Kabupaten/Kota dimaksud.
(5) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam proses penetapan calon, partai politik atau adonan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat,
(7) Dalam proses penetapan calon perseorangan, KPU Kabupaten/Kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(8) Partai politik atau adonan partai politik pada ketika mendaftarkan calon partai politik, wajib menyerahkan:
a. Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung;
b. kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mengusung 1 (satu) calon;
c. surat pernyataan tidak akan menarik dukungan atas calon yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon Bupati/Walikota;
e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai calon;
f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
h. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi pegawai negeri sipil (atau pernyataan pengunduran diri sementara dari jabatan negeri bagi pegawai negeri sipil);
i. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
j. keputusan pemberhentian sementara dari kedudukannya sebagai pimpinan atau anggota DPRD hingga dengan peresmian Bupati/Walikota terpilih;
k. kelengkapan persyaratan calon Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70; dan
l. visi, misi, dan jadwal dari calon secara tertulis.
(9) Calon perseorangan pada ketika mendaftar wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh calon perseorangan;
b. berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;
c. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai calon;
d. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi pegawai negeri sipil (atau pernyataan pengunduran diri sementara dari jabatan negeri bagi pegawai negeri sipil);
f. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
m. keputusan pemberhentian sementara dari kedudukannya sebagai pimpinan atau anggota DPRD hingga dengan peresmian Bupati/Walikota terpilih;
g. kelengkapan persyaratan calon Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70; dan
h. visi, misi, dan jadwal dari calon secara tertulis.
(10) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya diberikan kepada satu calon perseorangan.
(11) Partai politik atau adonan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya sanggup mengusulkan satu calon, dan calon tersebut tidak sanggup diusulkan lagi oleh partai politik atau adonan partai politik lainnya.
(12) Masa registrasi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling usang 7 (tujuh) hari terhitung semenjak pengumuman registrasi calon.
Pasal 73
Pendaftaran Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. kartu tanda penduduk dan sertifikat kelahiran Warga Negara Indonesia;
b. surat keterangan catatan kepolisian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. surat keterangan kesehatan dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk oleh KPU Kabupaten/Kota;
d. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
e. surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak mempunyai tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga/pengadilan negeri;
f. fotokopi NPWP dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir;
g. daftar riwayat hidup setiap calon;
h. Dokumen yang memperlihatkan kebenaran mempunyai pengalaman di bidang pemerintahan/organisasi;
i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Bupati/walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan;
j. surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, harapan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
k. surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
l. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau jadwal pendidikan menengah; dan
m. surat pernyataan bermeterai cukup wacana kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai calon Bupati/Walikota.
Bagian Keempat
Verifikasi Calon Bupati/Walikota
Pasal 74
(1) Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/walikota dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota yang dibantu oleh PPK dan PPS.
(2) Calon perseorangan menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum waktu registrasi calon dimulai.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling usang 14 (empat belas) hari semenjak dokumen dukungan calon perseorangan diserahkan ke PPS.
(4) Hasil verifikasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam gosip acara, yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan kepada calon.
(5) PPK melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari.
(6) Hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam gosip jadwal yang selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada calon.
(7) Dalam pemilihan Bupati/Walikota, salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan oleh calon dari perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan.
(8) KPU Kabupaten/Kota melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari.
Pasal 75
(1) Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (8) diteliti persyaratan administrasinya dengan melaksanakan penjelasan kepada instansi pemerintah yang berwenang dan mendapatkan masukan dari masyarakat terhadap persyaratan calon.
(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada calon dari partai politik dengan tembusan pimpinan partai politik, adonan partai politik yang mengusulkan, atau calon perseorangan paling usang 21 (dua puluh satu) hari terhitung semenjak tanggal penutupan pendaftaran.
(3) Apabila calon dari partai politik atau adonan partai politik belum memenuhi syarat atau ditolak lantaran tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan/atau Pasal 72 ayat (2), partai politik atau adonan partai politik yang mengajukan calon diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan calon atau mengajukan calon gres paling usang 7 (tujuh) hari semenjak ketika pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(4) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 72 ayat (9) aksara b, aksara c, aksara d, aksara e, aksara f, aksara g, aksara h, dan aksara i, calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan calon paling usang 7 (tujuh) hari semenjak ketika pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(5) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (9) aksara a, calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan calon paling usang 14 (empat belas) hari semenjak ketika pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(6) Apabila calon perseorangan ditolak oleh KPU Kabupaten/Kota lantaran tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 atau Pasal 72 ayat (9), calon tidak sanggup mencalonkan kembali.
(7) KPU Kabupaten/Kota melaksanakan penelitian ulang wacana kelengkapan dan/atau perbaikan persyaratan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebut paling usang 14 (empat belas) hari kepada pimpinan partai politik atau adonan partai politik yang mengusulkannya atau calon perseorangan.
(8) Apabila hasil penelitian berkas calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPU Kabupaten/Kota, partai politik, adonan partai politik, atau calon perseorangan tidak sanggup lagi mengajukan calon,
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian persyaratan administrasi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima
Penetapan Calon Bupati/Walikota
Pasal 76
(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), KPU Kabupaten/Kota memutuskan calon sekurang-kurangnya 2 (dua) calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan calon.
(2) Calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari semenjak selesainya penelitian.
(3) Terhadap penetapan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon yang merasa dirugikan sanggup mengajukan keberatan hasil penetapan calon kepada Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pengadilan Negeri memutus sengketa hasil penetapan calon paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberatan dari Calon.
(5) Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan tidak sanggup diajukan upaya aturan lainnya.
(6) KPU Kabupaten/Kota menindaklanjuti hasil putusan Pengadilan Negeri .
(7) KPU Kabupaten/Kota memutuskan dan mengumumkan kembali nama-nama calon bupati/walikota yang berhak dipilih berdasarkan putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Dalam hal putusan Pengadilan Negeri memutuskan kurang dari 2 calon yang memenuhi persyaratan, maka KPU Kabupaten/Kota melaksanakan proses registrasi ulang, sekaligus menyusun kembali jadwal pemilihan yang baru.
(9) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (8), paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan Negeri diterima oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 77
(1) Partai politik atau adonan partai politik dihentikan menarik calonnya dan/atau calonnya dihentikan mengundurkan diri terhitung semenjak ditetapkan sebagai calon oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) Calon perseorangan dihentikan mengundurkan diri terhitung semenjak ditetapkan sebagai calon oleh KPU Kabupaten/Kota.
(3) Calon perseorangan yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai hukuman tidak sanggup mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik/gabungan partai politik sebagai calon kepala daerah untuk selamanya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(4) Apabila calon perseorangan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota sebagai calon sehingga tinggal 1 (satu) calon, calon tersebut dikenai hukuman sebagaimana diatur pada ayat (3) dan denda sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(5) Apabila partai politik atau adonan partai politik menarik calonnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik atau adonan partai politik yang mencalonkan tidak sanggup mengusulkan calon pengganti.
(6) Apabila calon perseorangan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), calon perseorangan dimaksud dinyatakan gugur dan tidak sanggup diganti calon perseorangan lain.
Pasal 78
(1) Dalam hal calon meninggal dunia semenjak penetapan calon hingga pada ketika dimulainya hari kampanye, partai politik atau adonan partai politik yang calonnya meninggal dunia sanggup mengusulkan calon pengganti paling usang 3 (tiga) hari sejak calon meninggal dunia,
(2) KPU Kabupaten/Kota melaksanakan penelitian persyaratan manajemen calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menetapkannya paling usang 4 (empat) hari terhitung semenjak tanggal pendaftaran,
(3) Dalam hal calon meninggal dunia semenjak penetapan calon hingga pada ketika dimulainya hari kampanye sehingga jumlah calon kurang dari 2 (dua) , KPU Kabupaten/Kota membuka kembali registrasi pengajuan calon paling usang 10 (sepuluh) hari,
(4) Dalam hal calon meninggal dunia pada ketika dimulainya kampanye hingga hari pemungutan bunyi dan masih terdapat 2 (dua) calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan Bupati/Walikota dilanjutkan dan calon yang meninggal dunia tidak sanggup diganti serta dinyatakan gugur,
(5) Dalam hal calon partai politik atau adonan partai politik meninggal dunia pada ketika dimulainya kampanye hingga hari pemungutan suara, calon kurang dari 2 (dua) tahapan pelaksanaan pemilihan Bupati/Walikota ditunda paling usang 60 (enam puluh) hari.
(6) Partai politik atau adonan partai politik yang calonnya meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan calon pengganti paling usang 7 (tujuh) hari sejak calon meninggal dunia.
(7) KPU Kabupaten/Kota melaksanakan penelitian persyaratan manajemen usulan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan menetapkannya paling usang 21 (dua puluh satu) hari terhitung semenjak pendaftaran calon pengganti.
(8) Dalam hal calon perseorangan berhalangan tetap pada ketika dimulainya kampanye hingga dengan hari pemungutan bunyi sehingga jumlah calon kurang dari 2 (dua), tahapan pelaksanaan pemilihan Bupati/Walikota ditunda paling usang 60 (enam puluh) hari.
(9) KPU Kabupaten/Kota membuka kembali registrasi pengajuan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling usang 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 79
(1) Dalam hal calon berhalangan tetap setelah pemungutan bunyi putaran pertama hingga dimulainya hari pemungutan bunyi putaran kedua, tahapan pelaksanaan pemilihan Bupati/Walikota ditunda paling usang 30 (tiga puluh) hari.
(2) Partai politik atau adonan partai politik yang calonnya berhalangan tetap mengusulkan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari semenjak calon berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan KPU Kabupaten/Kota melaksanakan penelitian persyaratan administrasi pdan menetapkan calon pengganti paling usang 4 (empat) hari terhitung semenjak pendaftaran calon pengganti.
(3) Dalam hal calon perseorangan berhalangan tetap pada ketika dimulainya pemungutan bunyi putaran kedua sehingga jumlah calon kurang dari 2 (dua), KPU Kabupaten/Kota memutuskan yang memperoleh bunyi terbanyak ketiga pada putaran pertama sebagai calon untuk putaran kedua.
Pasal 80
(1) Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/walikota dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota yang dibantu oleh PPK dan PPS.
(2) calon perseorangan menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum waktu registrasi calon dimulai.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling usang 14 (empat belas) hari semenjak dokumen dukungan calon perseorangan diserahkan ke PPS.
(4) Hasil verifikasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam gosip acara, yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan kepada calon.
(5) PPK melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari.
(6) Hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam gosip jadwal yang selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada calon.
(7) Dalam pemilihan Bupati/Walikota, salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan oleh calon dari perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan.
(8) KPU Kabupaten/Kota melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling usang 7 (tujuh) hari.
Bagian Keenam
Pemilih
Paragraf Kesatu
Hak Memilih/Penetapan Pemilih
Pasal 81
Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan bunyi pemilihan Bupati/Walikota sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Pasal 82
(1) Untuk sanggup memakai hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
(2) Untuk sanggup didaftar sebagai pemilih, warga negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap.
c. berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum ditetapkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk
(3) Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak sanggup memakai hak memilihnya.
Paragraf Kedua
Penyusunan Daftar Pemilih
Pasal 83
(1) Daftar penduduk potesial pemilih pemilihan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan daftar pemilih pada ketika pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerah dipakai sebagai materi penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan Bupati/Walikota.
(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemutakhiran oleh PPS berdasarkan koreksian dari RT/RW dan perhiasan para pemilih yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih.
(3) Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai daftar pemilih sementara.
(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan secara luas dan melalui papan pengumuman RT/RW oleh PPS, untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 21 (dua puluh satu) hari.
(5) PPS memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat serta data pemilih perhiasan paling usang 7 (tujuh) hari terhitung semenjak berakhirnya masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Daftar pemilih sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap dan diumumkan oleh PPS paling usang 3 (tiga) hari terhitung semenjak berakhirnya jangka waktu penyusunan daftar pemilih tetap.
Pasal 84
(1) Penduduk yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada pasal 83 ayat (3) diberikan surat pemberitahuan sebagai pemilih oleh PPS.
(2) Dalam hal terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar pemilih sementara sanggup mendaftarkan diri sebagai pemilih kepada PPS untuk dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
(3) Kesempatan untuk mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling usang 21 hari semenjak pengumuman daftar pemilih sementara.
(4) Pemilih perhiasan yang sudah didaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan surat pemberitahuan sebagai pemilih oleh PPS.
Pasal 85
Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Bupati/Walikota harus sudah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan bunyi Pemilihan Bupati/Walikota.
Pasal 86
(1) Dalam hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap, yang bersangkutan sanggup memakai hak pilihnya dengan memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku dan dilengkapi dengan Kartu Keluarga atau nama sejenisnya.
(2) Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya sanggup dipakai di tempat pemungutan bunyi yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk.
(3) Sebelum memakai hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
(4) Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan bunyi di TPS.
Pasal 87
(1) Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih.
(2) Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, Pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Pasal 88
(1) Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 kemudian berpindah tempat tinggal atau lantaran ingin memakai hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS setempat
(2) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat nama pemilih dari daftar pemilih dan memberikan surat keterangan pindah tempat memilih.
(3) Pemilih melaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan yang baru.
Bagian Ketujuh
Kampanye
Paragraf Kesatu
Pelaksanaan kampanye
Pasal 89
(1) Kampanye dilaksanakan sebagai serpihan dari penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibuat oleh calon tolong-menolong partai politik atau adonan partai politik yang mengusulkan atau oleh Calon perseorangan
(3) Tim kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota bersamaan dengan registrasi Calon.
(4) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tolong-menolong atau secara terpisah oleh calon dan/atau oleh tim kampanye,
(5) Penanggung jawab kampanye yaitu calon yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye.
(6) Tim kampanye sanggup dibuat secara berjenjang di Kabupaten/Kota dan kecamatan bagi calon Bupati/Walikota.
(7) Dalam kampanye, rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri kampanye.
(8) Pelaksanaan kampanye dilakukan di seluruh wilayah Kabupaten/Kota untuk pemilihan bupati dan walikota.
(9) Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dengan memperhatikan usul dari Calon.
Paragraf Kedua
Materi Kampanye
Pasal 90
(1) Calon wajib memberikan visi, misi, dan jadwal secara ekspresi maupun tertulis kepada masyarakat.
(2) Calon berhak untuk mendapatkan informasi atau data dari pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(3) Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.
Paragraf Ketiga
Metode Kampanye
Pasal 91
Kampanye sanggup dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. tatap muka dan dialog;
c. penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;
d. penyiaran melalui radio dan/atau televisi;
e. penyebaran materi kampanye kepada umum;
f. pemasangan alat peraga di tempat umum;
g. rapat umum;
h. debat publik/debat terbuka antar calon; dan/atau
i. kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Pasal 92
(1) Media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada calon untuk memberikan tema dan materi kampanye.
(2) Media cetak dan media elektronik wajib memberikan kesempatan yang sama kepada calon untuk memasang iklan pemilihan Bupati/Walikota dalam rangka kampanye.
(3) Pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada calon untuk memakai kemudahan umum.
(4) Semua yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umum yang diadakan oleh calon hanya dibenarkan membawa atau memakai tanda gambar dan/atau atribut calon yang bersangkutan.
(5) KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memutuskan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye.
(6) Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh calon dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau daerah setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Pemasangan alat peraga kampanye pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau tubuh swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
(8) Alat peraga kampanye harus sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
Paragraf Keempat
Jadwal Kampanye
Pasal 93
(1) Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 aksara c, aksara e, dan aksara f dilaksanakan semenjak 3 (tiga) hari setelah registrasi calon peserta Pemilihan Bupati/Walikota hingga dengan dimulainya masa tenang.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 aksara a, aksara b, aksara d, aksara g, aksara h, dan aksara i dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari dan berakhir hingga dengan dimulainya masa tenang.
(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 94
(1) Debat antar calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 aksara h dilaksanakan 3 (tiga) kali oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) Debat calon antar calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di tempat tertutup dan disiarkan secara pribadi melalui stasiun radio setempat.
(3) Moderator debat antar calon dipilih oleh KPU Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik dan tidak memihak kepada salah satu calon.
(4) Selama dan setelah berlangsung debat antar calon, moderator dihentikan memberikan komentar, penilaian, dan kesimpulan apapun terhadap penyampaian dan materi dari setiap calon.
(5) Materi debat antar calon yaitu visi Bupati/Walikota dalam rangka :
a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
b. memajukan daerah;
c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat;
d. menyelesaikan dilema daerah;
e. menserasikan pelaksanaan pembangunan daerah setempat dengan provinsi dan nasional; dan
f. memperkokoh NKRI dan kebangsaan.
Paragraf Kelima
Larangan dalam Kampanye
Pasal 95
Dalam kampanye dihentikan :
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;
c. menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
d. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;
e. mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
f. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye calon lain;
h. menggunakan kemudahan dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;
i. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan
j. melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan dijalan raya.
Pasal 96
(1) Dalam kampanye, dihentikan melibatkan:
a Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota;
b. hakim pada semua peradilan;
c. pejabat BUMN/BUMD;
d. pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri;
e. kepala desa.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila pejabat tersebut menjadi calon Bupati/Walikota.
(3) Pejabat negara yang menjadi calon Bupati/Walikota dalam melaksanakan kampanye tidak memakai kemudahan yang terkait dengan jabatannya;
(4) Calon dihentikan melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan umum Bupati/Walikota.
Pasal 97
Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dihentikan menciptakan keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.
Pasal 98
(1) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 aksara a, aksara b, aksara c, aksara d, aksara e, dan aksara f, merupakan tindak pidana dan dikenai hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 aksara g, aksara h, aksara i, dan aksara j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye dikenai sanksi:
a. peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan;
b. penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain;
(3) Tata cara pengenaan hukuman terhadap pelanggaran larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(4) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dikenai hukuman penghentian kampanye selama masa kampanye oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 99
(1) Pelaksana Kampanye yang melanggar larangan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dikenai hukuman dengan tahapan:
a. peringatan tertulis apabila pelaksana Kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan;
b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang sanggup menimbulkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.
(2) Calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melaksanakan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai hukuman tidak diperkenankan melaksanakan kampanye selanjutnya oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 100
(1) Calon dan/atau tim kampanye dihentikan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk menghipnotis pemilih.
(2) Calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melaksanakan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap dikenai hukuman abolisi sebagai calon oleh KPU Kabupaten/Kota.
Paragraf Keenam
Dana Kampanye
Pasal 101
(1) Dana kampanye sanggup diperoleh dari:
a. calon;
b. partai politik dan/atau adonan partai politik yang mengusulkan;
c. sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang mencakup sumbangan perseorangan dan/atau tubuh aturan swasta.
(2) calon wajib mempunyai rekening khusus dana kampanye dan rekening yang dimaksud didaftarkan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(3) Sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara c dari perseorangan dihentikan melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dari tubuh aturan swasta dihentikan melebihi Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Calon sanggup mendapatkan dan/atau menyetujui pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara pribadi untuk kegiatan kampanye yang apabila dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus mencantumkan identitas yang jelas.
(6) Sumbangan kepada calon yang lebih dari Rp 2.500.000.00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) baik dalam bentuk uang maupun bukan dalam bentuk uang yang sanggup dikonversikan ke dalam nilai uang wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan.
(7) Laporan sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan ayat (5) disampaikan oleh calon kepada KPU Kabupaten/Kota dalam waktu 1 (satu) hari sebelum masa kampanye dimulai dan 1 (satu) hari setelah masa kampanye berakhir.
(8) KPU Kabupaten/Kota mengumumkan melalui media massa laporan sumbangan dana kampanye setiap calon sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada masyarakat satu hari setelah mendapatkan laporan dari calon.
Pasal 102
(1) Dana kampanye dipakai oleh calon, yang teknis pelaksanaannya dilakukan oleh tim kampanye.
(2) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh calon kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) hari setelah hari pemungutan suara.
(3) KPU Kabupaten/Kota wajib menyerahkan laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada kantor akuntan publik paling lambat 2 (dua) hari setelah KPU Kabupaten/Kota mendapatkan laporan dana kampanye dari calon,
(4) Kantor akuntan publik wajib menuntaskan audit paling lambat 15 (lima belas) hari setelah diterimanya laporan dana kampanye dari KPU Kabupaten/Kota.
(5) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan oleh KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) hari setelah KPU Kabupaten/Kota mendapatkan laporan hasil audit dari kantor akuntan publik.
(6) Laporan dana kampanye yang diterima KPU Kabupaten/Kota wajib dipelihara dan terbuka untuk umum.
Pasal 103
(1) Calon dihentikan mendapatkan sumbangan atau proteksi lain untuk kampanye yang berasal dari:
a. negara asing, forum swasta asing, forum swadaya masyarakat gila dan warga negara asing;
b. penyumbang atau pemberi proteksi yang tidak terperinci identitasnya;
c. pemerintah, BUMN, dan BUMD.
(2) Calon yang mendapatkan sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan memakai dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas daerah.
(3) Calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai hukuman abolisi sebagai calon oleh KPU Kabupaten/Kota.
Bagian Kedelapan
Perlengkapan Pemilihan
Pasal 104
(1) KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam merencanakan dan memutuskan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara.
(2) Sekretaris KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 105
(1) Jenis perlengkapan pemungutan bunyi terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. segel;
f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan
g. TPS;
(2) Dalam hal pelaksanaan pemungutan bunyi memakai e-voting, dipakai perlengkapan pemungutan bunyi pendukung e-voting.
(3) Selain perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan bunyi dan penghitungan suara, diharapkan dukungan perlengkapan lainnya.
(4) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan bunyi ditetapkan dengan peraturan KPU Kabupaten/Kota
(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara a, aksara b, aksara c, aksara d, aksara e dan aksara g dilaksanakan oleh Sekretariat KPU Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara h dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama dengan masyarakat.
(7) Perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara a, aksara b, aksara c, aksara d, aksara e, aksara f, aksara g dan ayat (2) harus sudah diterima KPPS paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan bunyi dilakukan oleh Sekretariat KPU Kabupaten/Kota.
(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara, KPU Kabupaten/Kota sanggup bekerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 106
(1) Surat bunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) aksara b untuk memuat foto, nama, dan nomor urut Calon.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 107
Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat bunyi ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota
Pasal 108
(1) Jumlah surat bunyi yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
(2) Selain memutuskan pencetakan surat bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota memutuskan besarnya jumlah surat bunyi untuk pelaksanaan pemungutan bunyi ulang.
(3) Jumlah surat bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota sebanyak 1.000 (seribu) surat bunyi untuk pemungutan bunyi ulang yang diberi tanda khusus.
Pasal 109
(1) Jumlah surat bunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap dan ditambah 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah pemilih tersebut.
(2) Tambahan surat bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai sebagai cadangan di setiap TPS untuk mengganti surat bunyi pemilih yang keliru menentukan pilihannya, mengganti surat bunyi yang rusak, dan untuk pemilih tambahan.
(3) Penggunaan perhiasan surat bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan gosip acara.
Pasal 110
(1) Perusahaan pencetak surat bunyi dihentikan mencetak surat bunyi lebih dari jumlah yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta keutuhan surat suara.
(2) KPU Kabupaten/Kota meminta proteksi Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat untuk mengamankan surat bunyi selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan.
(3) KPU Kabupaten/Kota memverifikasi jumlah surat bunyi yang telah dicetak, jumlah yang sudah dikirim dan/atau jumlah yang masih tersimpan dengan menciptakan gosip jadwal yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU Kabupaten/Kota.
(4) KPU Kabupaten/Kota mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang dipakai untuk menciptakan surat suara, sebelum dan setelah dipakai serta menyegel dan menyimpannya.
(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan, penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat bunyi ke tempat tujuan ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 111
Pengawasan atas pelaksanaan kiprah dan wewenang KPU Kabupaten/Kota serta sekretariat KPU Kabupaten/Kota mengenai pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dilaksanakan oleh Panwaslih Kabupaten/Kota dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Bagian Kesembilan
Pemungutan Suara
Pasal 112
(1) KPPS memberikan undangan kepada para pemilih untuk memakai hak pilihnya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Pemungutan bunyi dilakukan dengan memberikan tanda melalui surat suara.
(3) Pemungutan bunyi dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan.
Pasal 113
(1) Pemberian bunyi untuk Pemilihan Bupati/Walikota sanggup dilakukan dengan cara :
a. memberi tanda satu kali pada surat suara; dan
b. memberi bunyi melalui peralatan pemilihan bunyi electronic voting (e-voting).
(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut wacana tata cara memberikan tanda dan memberi bunyi melalui peralatan pemilihan bunyi electronic voting (e-voting) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 114
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain pada ketika memberikan suaranya di TPS sanggup dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas seruan pemilih.
(2) Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih yang dibantunya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian proteksi kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh KPU Kabupaten/Kota
Pasal 115
(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang.
(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang gampang dijangkau.
(3) Jumlah, lokasi, bentuk dan tata letak TPS diatur oleh KPU Kabupaten/Kota
(4) Jumlah surat bunyi di setiap TPS sama dengan jumlah Pemilih yang tercantum di dalam Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan ditambah dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari Daftar Pemilih Tetap sebagai cadangan.
(5) Penggunaan surat bunyi cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuatkan gosip acara.
(6) Format gosip jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 116
(1) Untuk keperluan pemungutan bunyi dalam Pemilihan Bupati/Walikota disediakan kotak bunyi sebagai tempat surat bunyi yang dipakai oleh pemilih.
(2) Jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 117
(1) Pelaksanaan pemungutan bunyi di TPS dipimpin oleh KPPS.
(2) Pemberian bunyi dilaksanakan oleh Pemilih.
(3) Pelaksanaan pemungutan bunyi disaksikan oleh saksi calon.
(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.
(5) Pengawasan pemungutan bunyi dilaksanakan oleh Pengawas Pemilihan Lapangan.
(6) Pemantauan pemungutan bunyi dilaksanakan oleh pemantau Pemilihan Bupati/Walikota yang telah diakreditasi oleh KPU Kabupaten/Kota.
(7) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dari calon/tim Kampanye.
Pasal 118
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPS melaksanakan kegiatan yang meliputi:
a. penyiapan TPS;
b. pengumuman dengan menempelkan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, serta nama dan foto Calon di TPS; dan
c. penyerahan salinan Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilihan Lapangan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPS melaksanakan kegiatan yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan simpulan pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS;
d. penjelasan kepada Pemilih wacana tata cara pemungutan suara; dan
e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 119
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat bunyi yang akan dipakai oleh Pemilih.
(2) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup dihadiri oleh saksi dari Calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(3) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuatkan gosip jadwal yang ditandatangani oleh Ketua KPPS, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS dan sanggup ditandatangani oleh saksi dari Calon.
Pasal 120
(1) Setelah melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, KPPS memberikan penjelasan mengenai tata cara pemungutan suara.
(2) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(3) Apabila mendapatkan surat bunyi yang ternyata rusak, pemilih sanggup meminta surat bunyi pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat bunyi pengganti hanya satu kali.
(4) Apabila terdapat kekeliruan dalam cara memberikan suara, pemilih sanggup meminta surat bunyi pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat bunyi pengganti hanya satu kali.
(5) Penentuan waktu pemungutan bunyi dimulai pukul 07.00 waktu setempat dan berakhir pada pukul 13.00 waktu setempat.
Pasal 121
(1) Pemilih yang telah memberikan bunyi di TPS diberi tanda khusus oleh KPPS.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 122
Suara untuk Pemilihan Bupati/Walikota dinyatakan sah apabila:
a. surat bunyi ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada nomor urut, atau foto, atau nama salah satu Calon dalam surat suara.
Pasal 123
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan bunyi di TPS meliputi:
a. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (sudah mendapat surat pemberitahuan berdasarkan DPS) pada TPS yang bersangkutan; dan
b. Pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara b sanggup memakai haknya untuk menentukan di TPS lain dengan memperlihatkan surat pemberitahuan dari PPS untuk memberikan bunyi di TPS lain.
(3) Dalam hal Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terdaftar dalam DPT sanggup memakai haknya untuk menentukan di TPS sesuai domisili dengan memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
(4) Dalam hal pada suatu TPS terdapat Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara b, KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK.
Pasal 124
(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan goresan pena dan/atau catatan lain pada surat suara.
(2) Surat bunyi yang terdapat goresan pena dan/atau catatan lain dinyatakan tidak sah.
Pasal 125
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan keamanan pelaksanaan pemungutan bunyi oleh anggota masyarakat dan/atau oleh pemantau Pemilihan Bupati/Walikota, petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan melaksanakan penanganan secara memadai.
(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilihan Bupati/Walikota tidak mematuhi penanganan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kesepuluh
Penghitungan Suara
Paragraf Kesatu
Penghitungan Suara di TPS
Pasal 126
(1) Penghitungan bunyi di TPS dilakukan oleh KPPS setelah pemungutan bunyi berakhir.
(2) Sebelum penghitungan bunyi dimulai, KPPS menghitung:
a. jumlah pemilih yang memberikan bunyi berdasarkan salinan daftar pemilih tetap untuk TPS;
b. jumlah pemilih dari TPS lain;
c. Jumlah Pemilih yang memakai dasar KTP dan KK;
d. jumlah surat bunyi yang tidak terpakai; dan
e. jumlah surat bunyi yang dikembalikan oleh pemilih lantaran rusak atau keliru ditandai.
(3) Penggunaan surat bunyi cadangan wajib dibuatkan gosip jadwal yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS.
(4) Penghitungan bunyi dilakukan dan selesai di TPS oleh KPPS dan sanggup dihadiri oleh saksi calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(5) Saksi Calon harus membawa surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS.
(6) Penghitungan bunyi dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat yang hadir sanggup menyaksikan secara terperinci proses penghitungan suara.
(7) Calon dan warga masyarakat melalui saksi Calon yang hadir sanggup mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan bunyi oleh KPPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(8) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sanggup diterima, KPPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(9) Segera setelah selesai penghitungan bunyi di TPS, KPPS menciptakan gosip jadwal dan sertifikat hasil penghitungan bunyi yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang¬-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPPS serta sanggup ditandatangani oleh saksi Calon.
(10) Dalam hal terdapat anggota KPPS dan saksi Calon yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (9), gosip jadwal dan sertifikat hasil penghitungan bunyi calon ditandatangani oleh anggota KPPS dan saksi Calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
(11) KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan gosip jadwal dan sertifikat hasil penghitungan bunyi kepada para calon atau saksi yang ditunjuk calon dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan bunyi pada papan pengumuman di TPS selama 7 (tujuh) hari.
(12) KPPS wajib menyerahkan gosip acara, sertifikat hasil penghitungan suara, kotak bunyi tersegel yang berisi surat suara, dan alat kelengkapan manajemen pemungutan bunyi dan penghitungan bunyi kepada PPK melalui PPS segera setelah selesai penghitungan suara.
Pasal 127
PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud dalam pasal 126 ayat (11) dari seluruh TPS diwilayah kerjanya dengan menempelkan salinan tersebut pada papan pengumuman di PPS selama 7 (tujuh) hari.
Paragraf Kedua
Rekapitulasi Penghitungan Suara Di Kecamatan
Pasal 128
(1) Setelah mendapatkan gosip jadwal dan sertifikat hasil penghitungan suara, PPK menciptakan gosip jadwal penerimaan dan melaksanakan rekapitulasi jumlah bunyi untuk tingkat kecamatan dan sanggup dihadiri oleh saksi calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(2) Saksi calon harus membawa surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK.
(3) Calon dan warga masyarakat melalui saksi calon yang hadir sanggup mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan bunyi oleh PPK apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sanggup diterima, PPK seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di semua KPPS dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, PPK menciptakan gosip jadwal dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan bunyi yang ditandatangani oleh Ketua dan sekurang¬-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK serta sanggup ditandatangani oleh saksi Calon.
(6) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Calon yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gosip jadwal rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan bunyi Calon ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
(7) PPK wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan gosip jadwal dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di PPK kepada para calon atau saksi calon yang ditunjuk dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan bunyi pada papan pengumuman di PPK selama 7 ( tujuh) hari.
(8) PPK wajib menyerahkan gosip jadwal pemungutan bunyi dan sertifikat hasil penghitungan bunyi kepada KPU Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah mendapatkan gosip jadwal dan sertifikat hasil penghitungan bunyi dari KPPS melalui PPS.
(9) Berita Acara beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dimasukkan dalam sampul khusus dan selanjutnya dimasukkan dalam kotak bunyi yang disediakan yang pada serpihan luar ditempel label atau disegel.
(10) PPK wajib menjaga dan mengamankan keutuhan kotak bunyi setelah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan.
(11) Penyerahan gosip jadwal pemungutan dan penghitungan bunyi dan sertifikat hasil penghitungan bunyi kepada KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib diawasi oleh Panwaslihkecamatan serta wajib dilaporkan kepada Panwaslih Kabupaten/Kota.
Paragraf Ketiga
Rekapitulasi Penghitungan Suara Di Kabupaten/Kota
Pasal 129
(1) Setelah mendapatkan gosip jadwal dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPU Kabupaten/Kota menciptakan gosip jadwal penerimaan dan melaksanakan rekapitulasi jumlah bunyi untuk tingkat Kabupaten/Kota dan sanggup dihadiri oleh saksi Calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(2) Saksi Calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU Kabupaten/Kota.
(3) Calon dan warga masyarakat melalui saksi Calon yang hadir sanggup mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan bunyi oleh KPU Kabupaten/Kota apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang¬-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sanggup diterima, KPU Kabupaten/Kota seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di semua PPK dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, KPU Kabupaten/Kota menciptakan gosip jadwal dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan bunyi yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU Kabupaten/Kota serta sanggup ditandatangani oleh saksi Calon.
(6) Dalam hal ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota dan saksi Calon yang hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetapi tidak bersedia menandatangani, gosip jadwal rekapitulasi hasil penghitungan perolehan bunyi dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan bunyi Calon ditandatangani oleh anggota KPU Kabupaten/Kota dan saksi Calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
(7) KPU Kabupaten/Kota wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan gosip jadwal dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di KPU Kabupaten/Kota kepada para calon atau saksi calon yang ditunjuk dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan bunyi pada papan pengumuman di KPU Kabupaten/Kota selama 7 (tujuh) hari.
(8) Setelah menciptakan gosip jadwal dan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), selambat-lambatnya 1 (satu) hari diputuskan dalam pleno KPU kabupaten/kota untuk memutuskan calon terpilih.
(9) KPU Kabupaten/Kota mengumumkan dan memberikan penetapan rekapitulasi penghitungan bunyi dan penetapan calon Bupati/Walikota terpilih kepada DPRD Kabupaten/Kota paling lambat setelah jangka waktu 3 (tiga) hari .
Paragraf Keempat
Pengajuan Keberatan
Pasal 130
(1) Terhadap penetapan rekapitulasi penghitungan bunyi dan penetapan calon Bupati/Walikota terpilih, calon yang merasa dirugikan sanggup mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (9).
(2) Apabila tidak ada keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota memberikan usul ratifikasi calon Bupati/Walikota terpilih kepada DPRD Kabupaten/Kota selanjutnya dalam waktu paling usang 3 (tiga) hari DPRD Kabupaten/Kota memberikan penetapan calon Bupati/Walikota terpilih kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
(3) Apabila ada keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota memberikan pemberitahuan kepada DPRD Kabupaten/Kota mengenai adanya keberatan tersebut.
(4) Pengadilan Tinggi memutus sengketa hasil penetapan rekapitulasi penghitungan bunyi paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberatan dari Calon.
(5) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya sanggup diajukan terhadap hasil penghitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya/penetapan pemenang calon Bupati/Walikota.
(6) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sudah diterima oleh KPU Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota dalam waktu paling usang 2 (dua) hari semenjak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
(7) KPU Kabupaten/Kota menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi paling usang 3 (tiga) hari setelah diterimanya putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(8) Dalam hal setelah 3 (tiga) hari KPU Kabupaten/Kota tidak menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) maka Sekretaris KPU Kabupaten/Kota memberikan usul ratifikasi calon terpilih dengan melampirkan seluruh dokumen pemilihan dan Putusan Pengadilan Tinggi kepada DPRD Kabupaten/Kota yang selanjutnya diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
(9) Dalam hal setelah 3 (tiga) hari DPRD Kabupaten/Kota tidak menindaklanjuti usulan ratifikasi calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka berdasarkan tembusan yang disampaikan oleh KPU Kabupaten/Kota, Gubernur memberikan usul ratifikasi calon terpilih kepada Menteri Dalam Negeri
Paragraf Kelima
Pengawasan dan Sanksi dalam Penghitungan Suara dan
Rekapitulasi Penghitungan Suara
Pasal 131
(1) Panwaslih Kabupaten/Kota, Panwaslih Kecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan melaksanakan pengawasan atas rekapitulasi penghitungan perolehan bunyi yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota, PPK dan KPPS.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan KPPS dalam melaksanakan rekapitulasi penghitungan perolehan suara.
(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan perolehan suara, maka PanwaslihKabupaten/Kota, Panwaslih kecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS yang melaksanakan pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan dikenai tindakan aturan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.
Bagian Kesebelas
Pemungutan Suara Ulang, Penghitungan Suara Ulang, dan Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara Ulang
Paragraf Kesatu
Pemungutan Suara Ulang
Pasal 132
(1) Pemungutan bunyi di TPS sanggup diulang apabila terjadi kerusuhan yang menimbulkan hasil pemungutan bunyi tidak sanggup dipakai atau penghitungan bunyi tidak sanggup dilakukan.
(2) Pemungutan bunyi di TPS sanggup diulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dari hasil penelitian dan investigasi Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan:
a. pembukaan kotak bunyi dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan bunyi tidak dilakukan berdasarkan tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat bunyi yang sudah digunakan;
c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat bunyi yang sudah dipakai oleh pemilih sehingga surat bunyi tersebut menjadi tidak sah;
d. lebih dari seorang pemilih memakai hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan
e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih, mendapat kesempatan memberikan bunyi pada TPS.
Paragraf Kedua
Penghitungan Suara Ulang
Pasal 133
(1) Penghitungan bunyi ulang sanggup dilakukan di TPS.
(2) Penghitungan bunyi di TPS diulang seketika itu juga apabila terjadi hal sebagai berikut:
a. penghitungan bunyi dilakukan secara tertutup;
b. penghitungan bunyi dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang kurang mendapat penerangan cahaya;
c. penghitungan bunyi dilakukan dengan bunyi yang kurang jelas;
d. penghitungan bunyi dicatat dengan goresan pena yang kurang jelas;
e. saksi Calon, Pengawas Pemilihan Lapangan, dan warga masyarakat tidak sanggup menyaksikan proses penghitungan bunyi secara jelas;
f. penghitungan bunyi dilakukan di tempat lain atau waktu lain dari yang telah ditentukan; dan
g. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat bunyi yang sah dan surat bunyi yang tidak sah.
Pasal 134
(1) Penghitungan bunyi ulang sanggup dilakukan di PPK.
(2) Penghitungan bunyi ulang di PPK sanggup dilakukan dalam hal terdapat perbedaan jumlah bunyi pada sertifikat hasil penghitungan bunyi dari TPS dengan sertifikat hasil penghitungan bunyi yang diterima PPK melalui PPS.
(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saksi Calon tingkat kecamatan dan saksi Calon di TPS, Panwaslih kecamatan, atau Pengawas Pemilihan Lapangan sanggup mengusulkan penghitungan bunyi ulang di PPK.
(4) Penghitungan bunyi ulang untuk TPS yang terdapat perbedaan jumlah bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara membuka kotak bunyi dan menghitung surat bunyi di PPK.
Pasal 135
Pemungutan bunyi ulang dan penghitungan bunyi ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130, Pasal 131 dan Pasal 132 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan paling usang 5 (lima) hari setelah hari pemungutan suara.
Paragraf Ketiga
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Ulang
Pasal 136
(1) Rekapitulasi penghitungan bunyi ulang berupa rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di PPK, KPU Kabupaten/Kota;
(2) Rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di PPK dan KPU Kabupaten/Kota dapat diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut :
a. rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dilakukan secara tertutup;
b. rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dilakukan di tempat yang kurang terang atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;
c. rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dilakukan dengan bunyi yang kurang jelas;
d. rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dicatat dengan goresan pena yang kurang jelas;
e. saksi Calon, pengawas Pemilihan Bupati/Walikota, dan warga masyarakat tidak sanggup menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan bunyi secara jelas; dan/atau
f. rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dilakukan di tempat lain atau waktu lain dari yang telah ditentukan.
(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saksi Calon atau Panwaslihkecamatan dan Panwaslih Kabupaten/Kota, sanggup mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di PPK, dan KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Rekapitulasi hasil penghitungan bunyi di PPK dan KPU Kabupaten/Kota harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan rekapitulasi.
(5) Rekapitulasi hasil penghitungan bunyi ulang yang disebabkan kerusuhan yang menimbulkan rekapitulasi hasil penghitungan bunyi tidak sanggup dilanjutkan dilaksanakan paling usang 3 (tiga) hari setelah hari/tanggal pemungutan bunyi berdasarkan keputusan PPK, atau KPU Kabupaten/Kota
Pasal 137
Dalam hal terjadi perbedaan jumlah bunyi pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan bunyi dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan bunyi yang diterima oleh KPU Kabupaten/Kota, atas usul saksi Calon tingkat Kabupaten/Kota, saksi calon tingkat Kecamatan, Panwaslih Kabupaten/Kota, atau Panwaslih Kecamatan, KPU Kabupaten/Kota melaksanakan pembetulan data setelah melaksanakan pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan bunyi untuk PPK yang bersangkutan.
Bagian Kedua Belas
Pemilihan Lanjutan Dan Pemilihan Susulan
Pasal 138
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Kabupaten/Kota terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, peristiwa alam, atau gangguan lainnya yang menimbulkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota tidak sanggup dilaksanakan, dilakukan Pemilihan Bupati/Walikota lanjutan.
(2) Pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota yang terhenti.
Pasal 139
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Kabupaten/Kota terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, peristiwa alam, atau gangguan lainnya yang menimbulkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota tidak sanggup dilaksanakan, dilakukan Pemilihan Bupati/Walikota susulan.
(2) Pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelengaraan Pemilihan.
Pasal 140
(1) Pemilihan Bupati/Walikota lanjutan dan Pemilihan Bupati/Walikota susulan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota.
(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota mencakup satu atau beberapa Kecamatan/Desa/Kelurahan;
(3) Dalam hal Pemilihan Bupati/Walikota tidak sanggup dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah Kecamatan atau 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar di Kabupaten/Kota tidak sanggup memakai haknya untuk memilih, penetapan Pemilihan Bupati/Walikota lanjutan atau Pemilihan Bupati/Walikota susulan dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota lanjutan atau Pemilihan Bupati/Walikota susulan diatur lebih lanjut oleh KPU Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga Belas
Pemantau
Paragraf Kesatu
Pemantauan Pemilihan
Pasal 141
(1) Pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota sanggup dipantau oleh pemantau Pemilihan Bupati/Walikota.
(2) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilihan Bupati/Walikota dalam negeri;
b. badan aturan dalam negeri;
c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri; dan
d. perwakilan negara sobat di Indonesia.
Pasal 142
(1) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat independen;
b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c. terdaftar dan memperoleh ratifikasi dari KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemantau dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) aksara c dan aksara d harus memenuhi persyaratan khusus:
a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilihan di negara lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melaksanakan pemantauan;
b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilihan Bupati/Walikota dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri; dan
c. memenuhi tata cara melaksanakan pemantauan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 143
(1) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) mengajukan permohonan untuk melaksanakan pemantauan Pemilihan Bupati/Walikota dengan mengisi formulir registrasi yang disediakan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembalikan formulir registrasi kepada KPU Kabupaten/Kota dengan menyerahkan kelengkapan manajemen yang meliputi:
a. profil organisasi/lembaga;
b. nama dan jumlah anggota pemantau;
c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;
d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang akan dipantau; dan
e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang dilampiri pas foto diri terbaru.
(3) KPU Kabupaten/Kota meneliti kelengkapan manajemen pemantau Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai pemantau Pemilihan Bupati/Walikota serta mendapatkan sertifikat akreditasi.
(5) Dalam hal pemantau Pemilihan Bupati/Walikota tidak memenuhi kelengkapan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemantau Pemilihan Bupati/Walikota yang bersangkutan dihentikan melaksanakan pemantauan Pemilihan Bupati/Walikota.
(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara sobat di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) aksara d, yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.
(7) Tata cara ratifikasi pemantau Pemilihan Bupati/Walikota diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf Kedua
Wilayah Kerja Pemantau
Pasal 144
(1) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota melaksanakan pemantauan pada satu daerah pemantauan sesuai dengan planning pemantauan yang telah diajukan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(2) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Paragraf Ketiga
Tanda Pengenal Pemantau
Pasal 145
(1) Tanda pengenal pemantau Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) dikeluarkan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tanda pengenal pemantau gila biasa; dan
b. tanda pengenal pemantau gila diplomat.
(3) Pada tanda pengenal pemantau Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat informasi tentang:
a. nama dan alamat pemantau Pemilihan Bupati/Walikota yang memberi tugas;
b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;
c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan;
d. wilayah kerja pemantauan; dan
e. nomor dan tanggal akreditasi.
(4) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai dalam setiap kegiatan pemantauan Pemilihan Bupati/Walikota.
(5) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilihan Bupati/Walikota diatur oleh KPU Kabupaten/Kota.
Paragraf Keempat
Hak dan Kewajiban Pemantau
Pasal 146
(1) Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota mempunyai hak:
a. mendapat proteksi aturan dan keamanan dari Pemerintah Indonesia;
b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota;
c. memantau proses pemungutan dan penghitungan bunyi dari luar TPS;
d. mendapatkan kanal informasi yang tersedia dari KPU Kabupaten/Kota; dan
e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota.
(2) Pemantau gila yang berasal dari perwakilan negara gila yang berstatus diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan kiprah sebagai pemantau Pemilihan Bupati/Walikota.
Pasal 147
Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota mempunyai kewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mematuhi instruksi etik pemantau Pemilihan Bupati/Walikota yang diterbitkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. melaporkan diri, mengurus proses ratifikasi dan tanda pengenal KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;
d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan;
e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;
f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilihan Bupati/Walikota serta tenaga pendukung administratif kepada KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah pemantauan;
g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota;
h. menghormati sopan santun istiadat dan budaya setempat;
i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;
j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan mengklarifikasikan kepada KPU Kabupaten/Kota; dan
k. melaporkan hasil simpulan pemantauan pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota.
Paragraf Kelima
Larangan Bagi Pemantau
Pasal 148
Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilihan Bupati/Walikota;
b. memengaruhi Pemilih dalam memakai haknya untuk memilih;
c. mencampuri pelaksanaan kiprah dan wewenang penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota;
d. memihak kepada Calon tertentu;
e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung Calon;
f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau kemudahan apa pun dari atau kepada Calon;
g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri Indonesia;
h. membawa senjata, materi peledak, dan/atau materi berbahaya lainnya selama melaksanakan kiprah pemantauan;
i. masuk ke dalam TPS; dan/atau
j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau Pemilihan Bupati/Walikota.
Paragraf Keenam
Sanksi Bagi Pemantau
Pasal 149
Pemantau Pemilihan Bupati/Walikota yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 148 dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilihan Bupati/Walikota.
Pasal 150
(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilihan Bupati/Walikota atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 148 dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 148 dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan terbukti kebenarannya, KPU Kabupaten/Kota mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilihan Bupati/Walikota.
(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 148 dilakukan oleh pemantau gila dan terbukti kebenarannya, KPU Kabupaten/Kota mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilihan Bupati/Walikota.
(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilihan Bupati/Walikota, yang bersangkutan dikenai hukuman sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 151
Menteri yang membidangi urusan aturan dan hak asasi insan menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan hak pemantau gila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Paragraf Ketujuh
Pelaksanaan Pemantauan
Pasal 152
(1) Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilihan Bupati/Walikota melapor kepada KPU Kabupaten/Kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.
(2) Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur oleh KPU Kabupaten/Kota
Bagian Keempat Belas
Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Pasal 153
(1) Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota, sanggup melibatkan partisipasi masyarakat.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilihan Bupati/Walikota, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat wacana Pemilihan Bupati/Walikota, dan penghitungan cepat hasil Pemilihan Bupati/Walikota, dengan ketentuan:
a. tidak melaksanakan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Calon;
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati/Walikota;
c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan
d. mendorong terwujudnya suasana yang aman bagi penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Pasal 154
(1) Partisipasi masyarakat dalam sosialisasi Pemilihan Bupati/Walikota dan pendidikan politik bagi Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (2), sanggup dilakukan kepada Pemilih pemula dan warga masyarakat lainnya melalui seminar, lokakarya, pelatihan, dan simulasi serta bentuk kegiatan lainnya.
(2) Pelaksanaan survei atau jajak pendapat dan pelaksana penghitungan cepat hasil Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (2), melaporkan status tubuh aturan atau surat keterangan terdaftarnya, susunan kepengurusan, sumber dana, alat dan metodologi yang dipakai kepada KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 155
(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilihan Bupati/Walikota, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat wacana Pemilihan Bupati/Walikota, dan penghitungan cepat hasil Pemilihan Bupati/Walikota wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) Hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang.
(3) Hasil penghitungan cepat sanggup diumumkan dan/atau disebarluaskan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.
(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat dalam mengumumkan dan/atau menyebarluaskan hasilnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilihan Bupati/Walikota.
Pasal 156
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota diatur oleh KPU Kabupaten/Kota.
Bagian Kelima Belas
Penyelesaian Pelanggaran Pemilihan Bupati/Walikota
Paragraf Kesatu
Laporan Pelanggaran
Pasal 157
(1) Panwaslih Kabupaten/Kota, Panwaslih kecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan, mendapatkan laporan pelanggaran Pemilihan Bupati/Walikota pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati/Walikota.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup disampaikan oleh:
a. warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;
b. pemantau Pemilihan Bupati/Walikota; atau
c. calon/tim Kampanye.
catatan: perlu ditinjau ulang untuk pelapor (dibuka untuk setiap orang WNI)
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Panwaslih Kabupaten/Kota, Panwaslih Kecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan, dengan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat peristiwa perkara; dan
d. uraian kejadian.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling usang 3 (tiga) hari semenjak terjadinya pelanggaran Pemilihan Bupati/Walikota.
(5) Panwaslih Kabupaten/Kota, Panwaslih kecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan, mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.
(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti kebenarannya, PanwaslihKabupaten/Kota, Panwaslihkecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan, wajib menindaklanjuti laporan paling usang 3 (tiga) hari setelah laporan diterima.
(7) Dalam hal PanwaslihKabupaten/Kota, Panwaslihkecamatan, dan Pengawas Pemilihan Lapangan, memerlukan keterangan perhiasan dari pelapor mengenai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling usang 5 (lima) hari setelah laporan diterima.
(8) Laporan pelanggaran manajemen Pemilihan Bupati/Walikota diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilihan Bupati/Walikota diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilihan Bupati/Walikota diatur dalam peraturan pemerintah.
Paragraf Kedua
Pelanggaran Administrasi
Pasal 158
(1) Pelanggaran manajemen Pemilihan Bupati/Walikota yaitu pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilihan Bupati/Walikota dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU Kabupaten/Kota.
(2) Pelanggaran manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup :
a. Penyusunan jadwal dan jadwal;
b. Keputusan penundaan atau perubahan jadwal;
c. Tata cara penyaringan calon;
d. Mekanisme penetapan atau penyampaian usul ratifikasi calon terpilih;
e. Pengesahan calon terpilih;
Pasal 159
Pelanggaran manajemen Pemilihan Bupati/Walikota diselesaikan oleh KPU Kabupaten/Kota berdasarkan laporan dari PanwaslihKabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 160
KPU Kabupaten/Kota menilik dan memutus pelanggaran manajemen Pemilihan Bupati/Walikota dalam waktu paling usang 7 (tujuh) hari semenjak diterimanya laporan dari PanwaslihKabupaten/Kota.
Pasal 161
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran manajemen Pemilihan Bupati/Walikota diatur dalam peraturan KPU Kabupaten/Kota.
Paragraf Ketiga
Pelanggaran Pidana
Pasal 162
(1) Pelanggaran pidana Pemilihan Bupati/Walikota yaitu pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilihan Bupati/Walikota yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
(2) Pelanggaran pidana sebagaimana mencakup :
a. Pemalsuan persyaratan calon;
1) Pemalsuan ijazah, KTP, Umur, surat pernyataan, surat keterangan dari instansi yang berkompeten.
2) Pemalsuan/manipulasi jumlah dukungan bagi calon perseorangan.
3) Konspirasi calon dengan KPU serta Pengawas.
4) Politik uang.
b. Pelanggaran hasil Pilkada :
1) Mobilisasi pemilih yang tidak berhak memilih.
2) Penggelembungan suara
3) Konspirasi calon dengan KPU serta Pengawas.
Pasal 163
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan hasil penyidikannya disertai berkas kasus kepada penuntut umum paling usang 14 (empat belas) hari semenjak mendapatkan laporan dari Panwaslih Bupati/Walikota.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling usang 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas kasus kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk wacana hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling usang 3 (tiga) hari semenjak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah memberikan kembali berkas kasus tersebut kepada penuntut umum.
(4) Penuntut umum melimpahkan berkas kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pengadilan negeri paling usang 5 (lima) hari semenjak mendapatkan berkas perkara.
Pasal 164
(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus kasus pidana Pemilihan Bupati/Walikota memakai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Sidang investigasi kasus pidana Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 165
(1) Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus kasus pidana Pemilihan Bupati/Walikota paling usang 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.
(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan banding, permohonan banding diajukan paling usang 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
(3) Pengadilan Negeri melimpahkan berkas kasus permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling usang 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.
(4) Pengadilan tinggi menilik dan memutus kasus banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling usang 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima.
(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya aturan lain.
Pasal 166
(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1) dan ayat (4) harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh jaksa.
Pasal 167
(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilihan Bupati/Walikota yang berdasarkan Undang-Undang ini sanggup memengaruhi perolehan bunyi Calon harus sudah selesai paling usang 5 (lima) hari sebelum KPU Kabupaten/Kota memutuskan hasil Pemilihan Bupati/Walikota secara nasional.
(2) KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima KPU Kabupaten/Kota dan calon pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Bagian Keenam belas
Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan
Paragraf Kesatu
Penetapan Calon Terpilih
Pasal 168
(1) Calon Bupati/walikota yang memperoleh bunyi lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah bunyi sah ditetapkan sebagai calon terpilih.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, calon Bupati/walikota yang memperoleh bunyi lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah bunyi sah, calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai calon terpilih.
(3) Dalam hal calon yang perolehan bunyi terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu calon yang perolehan suaranya sama, penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan bunyi yang lebih luas.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah bunyi sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.
(5) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua calon, kedua calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.
(6) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh tiga calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah perolehan bunyi yang lebih luas.
(7) Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh lebih dari satu calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan bunyi yang lebih luas.
(8) Calon Bupati/walikota yang memperoleh bunyi terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai calon terpilih.
Paragraf Kedua
Pengesahan Pengangkatan
Pasal 169
Pengesahan pengangkatan calon bupati atau walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri selambat lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja semenjak berkas diterima secara lengkap.
Paragraf Ketiga
Pelantikan
Pasal 170
(1) Bupati/Walikota sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik.
(2) Sumpah/janji Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Bupati/Walikota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa."
(3) Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung semenjak peresmian dan sesudahnya sanggup dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 171
(1) Bupati atau walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden.
(2) Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam Rapat Paripurna spesial DPRD.
(3) Tata cara peresmian dan pengaturan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh Belas
Penggantian bupati/walikota yang Berhenti atau Diberhentikan
Pasal 172
(1) Apabila bupati/walikota meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap atau diberhentikan dalam masa jabatannya, dan sisa masa jabatannya lebih dari setengah masa jabatan maka dilakukan pemilihan oleh DPRD.
(2) Bupati/walikota hasil pemilihan oleh DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meneruskan sisa masa jabatan bupati/walikota yang meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap atau diberhentikan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
BAB IV KETENTUAN PIDANA
Pasal 173
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain wacana suatu hal yang diharapkan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling usang 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menimbulkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling usang 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menjiplak surat yang berdasarkan suatu aturan dalarn Undang-Undang ini diharapkan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk dipakai sendiri atau orang lain sebagai seperti surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan aturan menghilangkan hak seseorang menjadi calon Bupati/Walikota dan orang yang kehilangan hak menjadi calon tersebut mengadukan diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(5) Setiap orang yang lantaran jabatannya dengan sengaja secara melawan aturan menghilangkan hak seseorang menjadi calon Bupati/Walikota dan orang yang kehilangan hak menjadi calon tersebut mengadukan diancam dengan pidana penjara paling singkat 48 ( empat puluh delapan) bulan dan paling usang 96 (sembilan puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak Rp 96.000.000,00 (Sembilan puluh enam rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya ketika registrasi pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pemilihan Bupati/Walikota berdasarkan Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling usang 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau memakai surat palsu seperti sebagai surat yang sah wacana suatu hal yang diharapkan bagi persyaratan untuk menjadi Calon Bupati/Walikota, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(9) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau memakai identitas diri palsu untuk mendukung bekal Calon perseorangen Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling usang 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
(10) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota yang dengan sengaja menjiplak daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(11) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota yang dengan sengaja tidak melaksanakan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 174
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melaksanakan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota untuk masing-masing Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (...) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling usang 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 aksara a, aksara b, aksara c, aksara d, aksara e, dan aksara f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling usang 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000.00 (enam Juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 aksara g, aksara h, aksara i, dan aksara j diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling usang 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah).
(4) Setiap Pejabat Negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling usang 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah);
(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling usang 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu ruplah) atau paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang memberi atau mendapatkan dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling usang 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 1,000.000.000 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja mendapatkan atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling usang 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling usang 12 (dua betas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 175
(1) Setiap calon Bupati/Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Bupati/Walikota hingga dengan pelaksanaan pemungutan bunyi putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling usang 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Pimpinan Partai Politik atau adonan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan/atau Calon yang telah ditetapkan oleh KPU hingga dengan pelaksanaan pemungutan bunyi putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling usang 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 176
(1) Setiap calon Bupati/Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan bunyi putaran pertama hingga dengan pelaksanaan pemungutan bunyi putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Pimpinan Partai Politik atau adonan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan/atau Calon yang telah ditetapkan oleh KPU hingga dengan pelaksanaan pemungutan bunyi putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling usang 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 177
(1) Dalam hal KPU Kabupaten/Kota tidak memutuskan pemungutan bunyi ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 sementara persyaratan dalam Undang-Undang ini telah terpenuhi, anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling usang 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan bunyi ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling usang 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 178
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan bunyi hasil Pemilihan Bupati/Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling usang 120 (seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 179
Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak menciptakan dan/atau menandatangani gosip jadwal perolehan suara Calon, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling usang 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 180
Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu eksemplar gosip jadwal pemungutan dan penghitungan bunyi dan/atau sertifikat hasil penghitungan bunyi kepada saksi Calon, Pengawas Pemilihan Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (11), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling usang 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 181
Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak bunyi tersegel yang berisi surat suara, gosip jadwal pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada bagi pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (12), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling usang 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 182
Panwaslih Kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak bunyi tersegel kepada KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling usang 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 183
Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan bunyi dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling usang 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 184
Dalam hal KPU Kabupaten/Kota tidak memutuskan perolehan hasil Pemilihan Bupati/Walikota secara nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling usang 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 185
Setiap orang atau forum yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling usang 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Setiap orang atau forum yang melaksanakan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilihan Bupati/Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling usang 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 186
Ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling usang 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 187
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan Kepala daerah di Provinsi Aceh, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah spesial Yogyakarta, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undang tersendiri.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 188
(1) Pemungutan bunyi dalam pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Oktober tahun 2011 hingga dengan bulan Desember tahun 2012 diselenggarakan pada tahun 2012.
(2) Pemungutan bunyi dalam pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Januari tahun 2013 hingga dengan bulan Agustus tahun 2014 diselenggarakan pada tahun 2013.
Pasal 189
Pendanaan kegiatan pemilihan gubernur/bupati/walikota dibebankan pada APBN dan APBD. catatan: prosedur batasan penggunaan APBN/APBD.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 190
(1) Pada ketika Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah dan perubahannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Bahwa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 wacana Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan wakil kepala daerah dan perubahannya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-Undang ini.
Pasal 191
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.